Pemilihan gubernur Jakarta selalu menjadi sorotan nasional. Kontestasi politik di ibu kota sering kali dianggap sebagai barometer politik nasional, dan Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 adalah salah satu momen paling kontroversial dalam sejarah Indonesia.Â
Pada saat itu, Basuki Tjahaja Purnama, atau yang dikenal dengan nama Ahok, menghadapi serangan bertubi-tubi terkait isu agama yang akhirnya menggiringnya ke penjara. Sebagai kader PDIP, Ahok sebenarnya telah memberikan kontribusi signifikan bagi Jakarta dengan program-program infrastruktur dan transparansi anggaran. Namun, dalam skenario hipotetis ini, bayangkan jika PDIP memilih Anies Baswedan sebagai calon gubernur mereka, bukan Ahok.
Langkah ini akan menimbulkan pertanyaan mendasar: Mengapa PDIP memilih Anies, yang sering dikritik karena minimnya prestasi nyata selama memimpin Jakarta, daripada Ahok yang sudah terbukti? Apa yang membuat PDIP tergoda untuk memilih Anies? Apakah ini hanya untuk meraih keuntungan jangka pendek karena popularitas Anies, atau ada agenda politik lain yang lebih besar?
Ahok vs Anies: Perbandingan Kualifikasi dan Reputasi
Ahok, sebagai gubernur, telah membuktikan dirinya sebagai seorang pemimpin yang tegas dan berorientasi pada hasil. Ia dikenal dengan berbagai proyek infrastruktur, seperti normalisasi sungai dan pembangunan ruang publik terpadu ramah anak (RPTRA). Selain itu, Ahok mempromosikan transparansi anggaran melalui platform e-budgeting yang memungkinkan warga Jakarta untuk melihat dan mengawasi penggunaan anggaran daerah. Prestasi-prestasi ini membuat Ahok sangat dibutuhkan bagi Jakarta, terutama dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan.
Sebagai kader PDIP, Ahok memiliki rekam jejak yang kuat sebagai pemimpin yang bisa diandalkan untuk menjalankan visi partai di Jakarta. Namun, Pilkada 2017 menjadi titik balik bagi Ahok. Ia menjadi korban isu SARA yang digunakan lawan politiknya untuk meraih kemenangan, dan akhirnya dipenjara karena tuduhan penistaan agama. Banyak yang menilai Pilkada ini sebagai yang terburuk dalam sejarah Indonesia, bukan karena kualitas kandidatnya, tetapi karena manipulasi isu agama yang terjadi.
Di sisi lain, Anies Baswedan dikenal sebagai sosok yang pandai berkomunikasi dan memiliki citra santun. Kepemimpinannya lebih banyak diisi dengan retorika yang menarik simpati masyarakat, namun secara objektif, prestasi yang dicapai selama memimpin Jakarta tidak sebanding dengan Ahok. Proyek-proyek seperti Formula E dan pengelolaan banjir menjadi sorotan negatif, yang menunjukkan kurangnya efektivitas dalam kebijakan publik.
Namun, Anies tetap populer di kalangan tertentu, terutama mereka yang merasa terwakili oleh gaya komunikasinya yang lebih inklusif dan ramah. Popularitas ini bisa jadi menjadi faktor yang menggoda PDIP untuk memilihnya sebagai calon gubernur, meskipun hal itu bisa berisiko merusak reputasi partai sebagai partai yang menjunjung tinggi nasionalisme dan pluralisme.
Motivasi PDIP Memilih Anies: Pertimbangan Politik
PDIP mungkin melihat Anies sebagai figur yang masih populer di mata sebagian masyarakat Jakarta. Dengan memilih Anies, PDIP bisa berharap untuk meningkatkan elektabilitasnya di kalangan pemilih yang sebelumnya mungkin tidak mendukung partai tersebut. Selain itu, dengan mendekati basis massa Anies, PDIP mungkin berusaha untuk memperluas jangkauan politiknya dan meraih keuntungan jangka pendek, terutama menjelang pemilu nasional.
Namun, keputusan ini bisa berdampak buruk bagi reputasi PDIP sebagai partai nasionalis. Pilihan ini bisa dianggap mengkhianati prinsip-prinsip nasionalisme dan pluralisme yang selama ini menjadi fondasi partai. Selain itu, langkah ini bisa memicu konflik internal dalam partai, terutama di antara kader-kader yang lebih mendukung Ahok atau yang berpegang teguh pada ideologi partai.
Strategi ini juga bisa dilihat sebagai upaya PDIP untuk melawan pengaruh Jokowi, yang selama ini menjadi tokoh sentral dalam partai dan di pemerintahan. Dengan memilih Anies, PDIP mungkin ingin menunjukkan bahwa mereka bisa berdiri sendiri dan tidak selalu harus mengikuti arah yang ditetapkan oleh Jokowi.
Implikasi Jangka Panjang: Masa Depan PDIP
Memilih Anies bisa berisiko besar bagi PDIP dalam jangka panjang. Keputusan ini bisa mengalienasi basis pendukung PDIP yang lebih nasionalis dan pluralis. Mereka mungkin merasa dikhianati dan beralih mendukung partai lain yang lebih konsisten dengan nilai-nilai yang mereka anut. Selain itu, keputusan ini juga bisa memecah suara di internal PDIP, yang akhirnya melemahkan kekuatan partai dalam pemilu mendatang.
Untuk tetap relevan dan menjadi pilihan utama rakyat Indonesia, PDIP perlu mempertimbangkan langkah-langkah yang lebih strategis. Memilih kandidat dengan rekam jejak yang kuat dalam memajukan visi partai adalah salah satu alternatif yang dapat diambil. PDIP juga harus memperkuat komunikasi politiknya dengan basis massa yang lebih luas, tanpa mengorbankan prinsip-prinsip ideologis yang menjadi fondasi partai.
Memilih Anies sebagai calon gubernur Jakarta bisa menjadi langkah pragmatis bagi PDIP, namun langkah ini juga bisa mengancam posisi ideologis partai. Apakah ini adalah pilihan yang tepat atau justru menjadi awal dari penurunan PDIP sebagai partai besar? Keputusan ini harus dipertimbangkan dengan matang, dengan mempertimbangkan baik keuntungan jangka pendek maupun dampak jangka panjang bagi partai.***MG
_________
Referensi:
KompasÂ
 - "Dinamika Politik Pilkada DKI Jakarta 2017", Kompas, 12 April 2017, Hal. 3.
  - "PDIP dan Nasionalisme dalam Pilkada", Kompas, 22 Februari 2024, Hal. 6.
Tempo
  - "Kontroversi Anies Baswedan: Kinerja atau Retorika?", Tempo, Edisi 34/XVIII, 20 Oktober 2022, Hal. 45-48.
  - "Ahok: Dari Pembangunan Hingga Penjara", Tempo, Edisi Khusus, 15 Mei 2017, Hal. 12-16.
Detik
  - "PDIP dan Pilihan Politiknya: Studi Kasus Pilkada DKI", Detik.com, 10 Maret 2024.
  - "Bagaimana Anies Baswedan Menjadi Pilihan Populer?", Detik.com, 18 November 2023.
CNN Indonesia
  - "Jokowi, PDIP, dan Pertaruhan di Pilkada DKI", CNN Indonesia, 25 Juli 2017, Hal. 22.
  - "Anies Baswedan: Popularitas dan Realitas", CNN Indonesia, 14 September 2023, Hal. 5.
Majalah Tempo
  - "PDIP dan Strategi Politik Nasional", Majalah Tempo, Edisi 1024, 5 Desember 2023, Hal. 60-65.
  - "Ahok vs Anies: Perang Dua Tokoh di Jakarta", Majalah Tempo, Edisi 999, 22 Maret 2017, Hal. 18-22.
Gatra
  - "PDIP, Nasionalisme, dan Pilihan Gubernur Jakarta", Gatra, Edisi 12/2024, 28 Januari 2024, Hal. 34-37.
  - "Kinerja Anies di Mata Rakyat Jakarta", Gatra, Edisi 21/2023, 18 Agustus 2023, Hal. 29-33.
Tirto
  - "Pilkada DKI: Studi Kasus Penggunaan Isu SARA", Tirto.id, 17 November 2017, Hal. 12.
  - "PDIP dan Dilema Nasionalisme dalam Pemilihan Umum", Tirto.id, 8 Februari 2024, Hal. 40-43.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H