Partai Amanat Nasional (PAN) telah menjadwalkan akan menggelar kongres nasional 28 Februari-2 Maret 2015 di Bali. Sudah di pastikan tentu dalam kongres tersebut juga akan memilih siapa ketua umum PAN periode 2015/2020.
Siapapun yang akan terpilih sebagai ketua umum DPP-PAN untuk menggantikan Hatta Rajasa dalam kongresnya di Bali mendatang hendaknya ia seorang tokoh pluralis dan visioner. Ini penting, karena sejak awal, partai berlambang matahari terbit dengan latar biru ini merupakan partai lintas agama, suku, ras dan golongan.
Sejak kelahirannya, Amien Rais menyadari bahwa pluralitas merupakan ciri utama masyarakat Indonesia, sehingga menjadi landasan partai untuk membina kehidupan bernegara-bangsa yang beradab, bermartabat dan menghargai satu sama lain.
Untuk itu, tidak berlebihan jika peserta kongres di Bali nantinya dapat memilih ketua umum yang pluralis. Apalagi PAN sejak awal telah menyatakan sebagai partai terbuka yang didukung masyarakat berbagai latar belakang agama, suku, golongan dan daerah.
Sejak itu, PAN bertekad ingin mencerminkan ciri kemajemukan ke dalam partai, sekaligus mengajak masyarakat menciptakan suasana kepartaian yang tidak memandang warga negara dari sudut latar belakang agama, suku, daerah dan golongan. Dengan demikian, memilih pemimpin partai yang pluralis dan visioner, menjadi keniscayaan bagi Partai Amanat Nasional.
Sampai saat ini yang siap menggantikan Hatta Rajasa hanyalah Zulkifli Hasan. Ketua umum in cumben Hatta Rajasa sendiri sampai saat ini merupakan kandidat calon Ketua umum PAN yang masih kuat.
Dari kedua kandidat tersebut masih sama kuat, siapa yang terpilih, masih sulit diprediksi, karena para kandidat saling mengklaim mendapat dukungan DPW-DPW dan akan menang. Namun siapa yang terpilih menjadi ketua umum, PAN sebagai partai terbuka butuh pemimpin yang pluralis, visioner dan komunikatif.
Bagi partai ini ke depan, agar dapat berkembang menjadi partai besar, butuh pemimpin visioner. Visioner dalam arti bisa menuntun arah transformasi sekaligus sarana agar perbedaan pendapat tidak lepas kendali dan muncul konflik internal, hingga mengakibatkan perpecahan di tubuh partai. Yang disebut terakhir, kini menjadi fenomena menonjol dalam kehidupan partai.
Banyak partai mengalami perpecahan dan konflik internal yang sudah pada situasi sulit diselesaikan. Banyak elite partai yang terkesan hanya berebut kekuasaan, saling pecat-memecat dan mengklaim paling legal di dalam jajaran partainya masing-masing.
Konflik internal dan perpecahan di partai, sebenarnya bukan barang baru. Sejak Orde Baru hingga sekarang, perpecaahan di tubuh partai terus terjadi. Hanya bedanya, dulu karena tekanan dari pemegang kekuasaan, atau Soeharto tidak senang, sementara sekarang perpecahan terjadi karena persaingan antara elite partai sendiri. Perpecahan di tubuh partai masih akan terjadi, karena para pimpinan partai sering seperti mabuk kekuasaan dan seperti mendapat harta karun, sehingga siapa pun yang ingin mendekat untuk memilikinya, pasti dihalau, jika perlu dengan paksa.
Untuk itu, pentingnya pemimpin partai yang visioner yang minimal memiliki empat kriteria berikut. Pertama, perlu memiliki kerangka kerja secara konseptual untuk memahami tujuan, dan bagaimana mencapai tujuan, di bawah pemimpin visioner. Kedua, sisi emosionalnya dapat memberi inspirasi dan membangkitkan semangat pengikut, kader dan elite partai dari pusat hingga daerah dan cabang. Ketiga, sebuah visi yang dijalankan harus realistik, dapat dipercaya dan punya daya tarik masa depan. Visi ini merupakan jembatan antara masa kini dan masa depan, sehingga harus realistis, sekaligus idealistis. Keempat, visi harus memiliki daya tarik yang luar biasa, agar siapa pun pemimpin partai yang menjalankan, terinspirasi dan termotivasi terhadap visi tersebut.