Namaku Silas. Pendeknya orang memanggilku "Las". Aku terlahir dari keluarga yang tak jelas. Kusebut tak jelas sebab sejak kecil, yang kupandangi bukanlah wajah kedua orangtuaku, melainkan seseorang yang kupanggil nenek. Ia yang mengasuhku sejak kecil.
Entah, nenek tak pernah cerita perihal asal usulku sebenarnya. Nenek masih ambigu tiap kali kutanya, "Nek, siapa ayah ibuku?" Ia seringkali membohongiku dengan narasi bahwa ayah dan ibuku sedang merantau jauh. Yang pada kemudian hari aku baru memahami bahwa kalimat itu hanyalah perhalusan dari kata minggat; istilah bahasa Jawa untuk menyebut seseorang  yang meninggalkan rumah tanpa pamit.
Di usia ke 28 tahun, kata orang-orang aku amat menyedihkan. Kau bisa bayangkan, aku tak punya pekerjaan, tinggal di gubuk reyot dengan orang tua renta, kesibukanku hanya nongkrong dari warung ke warung, dari selepas isya hingga dini hari kugunakan untuk bermain gaple bersama warga komplek.
Tapi tunggu dulu, itu kan kata orang. Mereka tak paham bagaimana sudut pandang seorang lelaki yang bernama Silas ini.
Pukul 9 pagi adalah waktu persisku bangun tidur, waktu tersebut menjadi patokan kala diriku tergolek lemas di atas pembaringan. Dengan bekerjapan kulirik jam dinding yang menempel di dinding kayu rumahku itu. "Jam berapa ini?" Benarlah pukul 9, kadang lebih sedikit dan tak pernah kurang dari itu.
Aku bergegas ke kamar mandi untuk sekadar cuci muka lalu duduk-duduk di teras, menyulut rokok sisa kondangan kemarin atau sambungan puntung yang kukumpulkan beberapa waktu sebelumnya, nikmat sekali rasanya.
Merogoh kocek, "ah kosong melompong."
Aku mendadak bengong sebab diriku tak pernah seperti orang-orang yang sibuk bekerja untuk mendapatkan uang. Aku tak mau seperti itu, aku tak kuat diatur-atur seorang bos.
Di dekat rumahku, kira-kira 150 meter ke arah utara terdapat jalan raya. Di sana ada minimarket yang cukup ramai. Akupun mengambil topi, peluit, sebuah rompi lusuh dan celana kempol lalu pergi ke depan minimarket itu.
Di sanalah aku merapikan motor para pembeli, kadang juga merambu truck box yang datang mengirim barang; kubantu juga kernetnya. Para pembeli di situ agaknya tak pernah paham bagaimana etika menaruh kendaraan yang baik. Meski aku tak punya motor, aku pun tahu bagaimana untuk merapikannya.
"Berserakan sekali." Akhirnya kutata satu per satu. Dan kau tahu apa yang terjadi bilamana para pembeli itu keluar dari minimarket? Mereka memberiku uang dua ribuan, kadang lima ribu, bahkan sepuluh ribu.
Di situlah senyum sumringah kuberikan lalu kuarahkan motornya sembari bertanya, "Ke arah mana?" Mereka dengan senang hati menunjukkan arah yang dimaksud, lalu kuarahkan ke situ.
Biasanya aku duduk agak menjauh dari minimarket, di pojokkan kanan depan persisnya. Kala kupandangi dari kejauhan, tak semua wajah-wajah yang kulihat keluar dari minimarket itu sumringah. Ada juga yang memasang wajah sedikit kesal, ada yang sedikit muram, ada juga yang datar.
"Ah, mungkin tak puas dengan pelayanan kasir," pikirku seringkali.
Misalnya seorang wanita berkerudung merah marun satu ini. Sekeluarnya dari minimarket ia langsung menaiki motor, tetiba aku muncul, berlari kecil dari tempat dudukku lalu membantu untuk menarik bokong motornya.
Kudengar lenguhan kecil dan ia menunjukkanku baliho besar di tembok kiri bertuliskan "parkir gratis!". Aku pun hanya diam tak menggubris, aku bukan tukang parkir. Aku hanya ingin membantu merapikan motor pembeli, itu saja. Begitu kalimat yang sering kuucapkan ke diri sendiri.
Tak lama kemudian ia mengeluarkan uang dua ribuan dari dasbor motornya. Lalu kulempar senyum kepadanya, dia membalasnya senyum kecut. Entahlah aku tak tahu maksud orang-orang itu kenapa sinis melihat kebiasaanku merapikan motor.
"Semudah ini mendapatkan uang?" Ucapku kala menghitung lembaran rupiah di teras depan. Sehari saja aku bisa mendapatkan hampir 300 ribu. Angka yang cukup fantastis bagi lelaki seumuranku. Bayangkan, sehari 300 ribu, sebulan aku mampu mengumpulkan 9 juta.
Uang itu biasa kugunakan untuk beli rokok, menraktir orang-orang di warung, sebagian kadang kuberikan pada nenek. Ah enak sekali punya banyak uang. Aku tak pernah lagi bingung kala harus menaruh nomor togel. Uangku banyak, aku bisa pilih nomor seenaknya. Toh seandainya kalah, itu tak mempengaruhi pendapatanku.
***
Beberapa waktu kemudian, kasak-kusuk diriku yang sering menertibkan motor di minimarket itu membuat resah pembeli. Salah seorang pemuda mendatangiku dengan langkah cepat, ia mendamprat dengan kalimat, "Mas, itu ada tandanya parkir gratis!" Tapi kujawab santai bahwa aku cuma merapikan motor, bukan tukang parkir. Tapi mereka ngotot tak percaya. Persetan, aku pun terus melakukan itu tiap hari.
Pernah juga kujawab, "jika aku tukang parkir, maka jelas sekali aku memaksa orang-orang agar membayar jasa parkir, nyatanya mereka sukarela memberi tanpa dipaksa." Dan orang-orang itu lekas membuang muka dan pergi dariku.
Belakangan aku makin risau kala orang-orang memandangku sebagai pemuda yang pemalas, mereka saling berbisik, berkata:
"Lihat, lelaki pemalas itu.."
"Iya, tak tahu malu.."
"Lihat saja dirinya, tak mau bekerja.."
Lalu aku memandangi diriku sendiri, apakah aku pemalas? Apakah seseorang bisa disebut giat manakala dirinya bekerja di kantor atau menjadi pekerja proyek? Aku bukan lelaki pemalas sebab hari-hariku juga kugunakan untuk menertibkan motor, catat baik-baik; hanya menertibkan motor. Pun aku ikhlas seandainya tak diberi uang, kenapa orang-orang menjadi sewot?
Pun orang-orang ramah kepadaku, biasanya Lik Karmin akan menyapaku kala aku menyedot rokok sembari mencecap segelas kopi di meja. "Las, piye dino iki? Oleh akeh?" Aku pun menjawab dengan isyarat jempol. Kata orang-orang itu adalah sindiran kepadaku. Hah? Apanya yang sindiran? Lik Karmin hanya bertanya soal banyak atau tidaknya pembeli yang mendatangi minimarket, bukan hal lain.
Beberapa waktu, sekitar dua bulan lebih aku menjalankan rutinitas itu. Aku tetiba mendapatkan surat laporan dari Pak RT. Isinya adalah pelaporan perihal keresahan warga atas tindakanku merapikan motor, mereka memintaku berhenti. Aku mengajukan banding pada Pak RT, "Pak, pihak minimarket tak pernah berkeluh kesah atas ini, malahan mereka senang dengan keberadaanku."
Dan itulah fakta yang sebenarnya, pihak minimarket tak pernah sinis, apalagi mengusirku dari sana. Karena mereka bermurah hati, terkadang beberapa karyawan juga kukasih uang-uang kecil sebagai salam pertemanan. Aku memang suka berbagi dengan mereka, aku mengenal karyawan itu dengan baik.
Malahan mereka sering mencariku kala aku tak enak badan, "kemarin kemana, Las?" tanya seorang karyawan. Tapi berdasar surat laporan Pak RT itu, aku dikiranya menganggu ketertiban umum. Ya Tuhan, kenapa orang-orang selalu menghalangi i'tikad orang berbuat baik? Dari situ aku memberhentikan kebiasaan baikku untuk merapikan motor di minimarket. Mungkin masih banyak kebaikan yang bisa kulakukan selain itu.
Semenjak tak merapikan motor lagi, aku pun sekarang menjadi sukarela di lampu merah untuk membersihkan kaca-kaca mobil dengan sulak yang terbuat dari bulu ayam. Aku senang berbuat seperti itu, semoga tak ada yang risau lagi dengan perbuatanku itu.
Syukurlah, kebiasaan baikku disambut baik orang-orang, aku sering dikasihnya uang receh.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H