Mohon tunggu...
Akhmad Gunawan Wibisono
Akhmad Gunawan Wibisono Mohon Tunggu... Guru - Santri Ponpes Kreatif Baitul Kilmah Yogyakarta

Membahas Apapun

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pesantren dan Politik: Refleksi Perenungan

17 Februari 2023   20:17 Diperbarui: 17 Februari 2023   20:35 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional yang sudah menggejala sejak dulu di Nusantara. Pondok pesantren merupakan hasil olah kultural dari peradaban Hindhu-Buddha dalam membentuk sebuah wadah pengajian ajaran-ajaran agama. Tentu lambat laun seiring berjalannya waktu, lebih tepatnya era wali songo pondok pesantren telah mengalami akulturasi budaya. Pondok pesantren menjadi tempat pengajaran agama Islam yang masif dan merupakan adopsi (atau inovasi) dari model pendidikan agama sebelumnya.

Jika memotong kompas dengan komparasi di era sekarang, pesantren telah mengalami banyak perubahan yakni tidak hanya menjadi lembaga pendidikan saja melainkan menjadi tempat berpolitik. Meski sebenarnya dimensi struktural pondok pesantren bersifat feodal, semi-monarki namun pengaruh sentral kiai tidak bisa dianggap remeh dalam mempengaruhi massa (dalam hal ini santri).

 Kiai sebagai salah satu pilar penting atas eksitensi pesantren, ia menjadi nahkoda kapal bernama "pondok pesantren" untuk mengatur segala regulasi yang ada di dalamnya. Sehingga seringkali ditemui gaya atau model kurikulum pesantren berangkat dari latarbelakang sang kiai sebagai first example. 

Misalnya, kiai memiliki passion di bidang ekonomi alhasil model pesantren yang diunggulkan juga tak jauh dari hal-hal yang berbau ekonomi; mengajarkan santri berwirausaha, membuat karya yang bernilai ekonomis. Pun jika semisal kiai seorang sastrawan maka model daripada pondok pesantren juga tidak jauh dari hal yang berbau sastra; mengajarkan santri menjadi penerjemah buku-buku, fokus santri dalam kesusastraan, melabeli pesantren dengan seputar literasi baca-tulis. dan berlaku untuk seterusnya.

Betapa pentingnya sosok kiai di pesantren ia menjadi sosok guru yang akan digugu dan ditiru oleh santrinya sebab doktrin patuh, ta'at kepada kiai adalah hal mutlak bagi santri, biasanya disebut Tawadhu'. Terlepas bagaimana posisi makna tawadhu' sebenarnya, namun jika mengambil pemaknaan paling dasar maka, arti tawadhu' sendiri adalah manut, mengikuti apa perintah atasan. 

 Tak pelak, pesantren menjadi tempat paling kompak, setia kawan, dan dominasi pola seduluran kuat sehingga hal-hal demikian seringkali dimanfaatkan semisal dalam kancah politik. 

Bukan hal baru, sebab jika merujuk jauh ke belakang ternyata hal demikian sudah dilakukan oleh NU saat masih bergerak di bidang politik. Bukan tanpa tujuan, NU memilih terjun ke politik sebab menjadi antithesis dari gerakan ideologi kiri yang kokoh saat itu (waktu itu diwakili PKI). Sehingga crash antara NU-PKI pada medio 1950'an merupakan isu-isu panas bagi ranah politik itu sendiri. 

Sebelum pada akhirnya tahun 1952 NU memutuskan untuk keluar dari dimensi tersebut dan mendeklarasikan diri sebagai organisasi keagamaan seutuhnya. Sehingga, pesantren di Indonesia yang didominasi oleh pesantren NU tidak jarang masih mengikuti langkah-langkah NU untuk membangun basis-basis kekuatan secara politis. 

Cak Nur, 1997 menulis buku Bilik-Bilik Pesantren di mana dalam satu bagian ia membahas mengenai peran pesantren di dunia politik tidak bisa dipandang sebelah mata. Ia mengungkapkan bahwa pengambilan peran santri dalam politik di Indonesia akan membuat pendefinisian sebagai wajah umat Islam yang substantif. Oleh sebab itu, masih menurut Cak Nur, pada akhirnya pesantren akan memiliki sebuah dimensi pengelompokkan politik tertentu. 

Merapatnya pesantren-pesantren ke arah politik, bisa dikatakan hal ini adalah proses pembentukan simbiosis mutualisme. Singkatnya, para politisi butuh banyak suara pendukung dan pesantren adalah surga bagi mereka sebab hanya mendekati kiainya para santri akan dengan mudah menaruh simpati kepada orang terkait. Pun, begitu juga dengan pesantren. Ia tetap memiliki alasan mendasar mengapa harus terjun ke dunia politik. 

Terkadang urgensi internal pesantren yang memaksa semisal pengadaan dana-dana dari negara agar lebih mudah dialokasikan atau bahkan kebutuhan endorsement lembaga pendidikan?, terlihat remeh namun nyata. 

Hal demikian sudah menjadi rahasia umum, artinya pesantren membutuhkan sokongan dari para politisi agar mempunyai semacam link guna tujuan politisnya bisa tercapai dengan mudah. Meski tidak semua begitu, namun faktanya kampanye terselubung tetaplah menjadi shadow master dalam perpolitikan Indonesia. 

Namun jangan buru-buru mengambil kesimpulan bahwa hal demikian adalah keliru. Kita coba merujuk kepada sudut pandang lebih luas pada persoalan yang dihadapi oleh pesantren. Di mana para santri di pesantren juga merupakan bagian dari rakyat, mereka adalah masyarakat politik yang memiliki hak suara untuk memilih wakilnya. 

Apa yang dikatakan Cak Nur agaknya perlu ditekan lebih realistis, "Islam Yes, Partai Islam No!". Santri harus melek politik, namun ia tak harus terjun di dalamnya. Sebab di sini akan menemui dua pertanyaan; pertama, apakah dia hanya ingin memahami politik secara teoritis saja, dan kedua, apakah dia ingin menjalani politik secara praktis?.

 Wallahu a'lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun