Mohon tunggu...
gunawan trihantoro
gunawan trihantoro Mohon Tunggu... Penulis - Berbuat untuk Perubahan

Penulis Buku Cinta Karya Tuhan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Roman Hidup

14 Juli 2020   10:05 Diperbarui: 14 Juli 2020   09:59 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Petang hadir menyambut malam. Pergantian hari yang penuh makna dalam kehidupan. Dari hari penuh cahaya, menuju hari penuh kegelapan. Di situlah manusia diminta menyandarkan doa keselamatan kepada Tuhan. Agar dalam kegelapan malam, tetap mendapatkan cahaya terang, sebagaimana cahaya pada siang yang telah hilang.

Aku duduk dalam kerinduan hati yang mendalam. Pada keindahan hidup yang penuh roman, dari kisah gadis yang jatuh cinta pada kekasih hatinya. Tak satu pun kata keluar, dari bibir merahnya yang ranum. Tak ada pandangan menatap kearah pelaminan cinta, yang di rindu insan mabuk asmara. Hanya gejolak hati yang terus membara pada kerinduan, dan terus bicara pada kesunyian yang menyelimuti malam.

Aku adalah roman cinta bagi gadis perawan, yang berharap kasih sayang. Aku adalah sebuah roman kerinduan, bagi gadis perawan yang terus menjaga kesucian. Aku adalah roman petang dan malam, bagi gadis perawan, yang berharap siang di saat gelap datang.

Malam terus menyelimuti perasaan, hati yang dirundung kerinduan. Aku kian tenggelam dalam kesunyian. Aku memainkan perasaan, untuk menemukan sebuah kebenaran. Aku gerakan pikiran, untuk menemukan kesesuaian. Aku padukan perasaan dan pikiran, untuk menemukan kesejatian yang lama hilang.

Aku terus menuliskan pena kerinduan, pada lembaran-lembaran kertas kehidupan. Aku semakin marasakan ketenangan jiwa, di dalam bilik penantian. Bayang-bayang bahagia menjelma, pada dinding-dinding keimanan.

***

Malam semakin larut, aku pun hanyut dalam arus imajinasi. Pasang surut alam rasa dan alam pikir bergelut memaknai roman hidup. Melahirkan sketsa kehidupan manusia yang semakin carut marut. Peradaban budi bergeser menepi, berganti hiruk pikuk peradaban yang tak berarti. Melaju cepat, membabat semua perilaku santun manusia, dari setiap lini kehidupan.

Aku termangu, menghitung waktu yang terus melaju. Tak bisa berhenti, menepi sejenak untuk sekedar rehat. Rasa dan pikiran ku larut, pada roman hidup manusia yang dilanda kalut.

Tiba-tiba, aku tersentak sejenak, menatap bayang bidadari kecil melintas dibenakku. Seakan dia menyapa, dan mengajakku berdansa, mengiringi alunan lagu-lagu sepi, di tengah-tengah malam yang sunyi. Senyumnya terus menggoda, mengusik ketenangan jiwa, dari rumahi man yang aku punya. Aku semakin tak berdaya, saat menatap bayang bidadari kecil, yang anggun dan mempesona.

Perlahan-lahan, sang bidadari kecil turun dari benakku, lalu berjalan mendekati hatiku. Aku hanya bisa diam menunggu, menanti bidadari kecil menyapaku. Tapi, bidadari kecil itu tak kunjung pula menyapaku.

Lalu, bidadari kecil itu mendekat lagi, dan duduk begitu dekat di samping hatiku. Sedekat rasa dan pikiranku, yang bergelut memaknai roman hidup. Kemudian dia menyapaku, "apa yang sedang engkau rasakan dan engkau pikirkan, hingga larut dalam memaknai roman hidup?"

Aku sama sekali tak mengindahkannya. Aku terus asyik menggerakkan jari-jari lentikku di atas lembaran-lembaran kertas kehidupan. Menuliskan pena kerinduan akan hadirnya ketenangan jiwa dari bilik-bilik penantian.

"Roman hidup apa yang kamu cari. Hingga kamu tak mengindahkanku yang ada di dekatmu. Padahal, aku adalah roman hidup sebenarnya, yang akan mendamaikan rasa dan pikiranmu saat ini?"

Sontak aku hentika njari-jari lentikku di atas lembaran-lembaran kertas kehidupan. Aku diam sejenak, sambil menatapnya tajam. Apa maksud perkataanya itu? Kenapa bidadari kecil itu menanyakan hal yang sedang aku rasakan dan aku pikirkan?

Sang bidadari kecil itu tersenyum manis di dekatku. Seolah-olah dia mengetahui jalan rasa dan pikiranku. Meski aku tak mengindahkan dirinya, tak tampak kecewa dan marah pada raut wajahnya yang anggun dan mempesona. Justru yang tampak adalah wajah penuh kasih dan sayang.

***

Tak henti-hentinya aku menatap wajah bidadari kecil itu. Seandainya malam, dia laksana rembulan. Seandainya siang, dia laksana matahari. Dan akan selalu menyinari kehidupan manusia yang mengharapkan terang.

Aku pun kian hanyut dan larut oleh keanggunan dan pesonanya yang memikat. Tak ada kata-kata yang terucap untuk bisa menghujat, tak ada kalimat-kalimat yang tepat untuk mendebat, atas keanggunan dan pesonanya yang melekat.

Aku tersadar dengan cepat, saat bidadari kecil itu berkata kepadaku, "Jangan berlebihan memuji keanggunan dan pesonaku, serta keberadaanku di hadapanmu saat ini. Karena hal itu akan menghilangkan roman hidup sebenarnya yang engkau cari selama ini."

Roman hidup adalah ketulusan dan adilnya rasa cinta yang melekat dalam diri manusia. Ketika aku hadir di hadapanmu, tapi engkau tak mengindahkannya, maka tak ada rasa cinta dalam dirimu. Ketika aku menyapamu, tapi engkau tak mengindahkannya pula, maka tak ada lagi rasa cinta dalam dirimu.

Hendaknya engkau berlaku adil, bukan hanya bisa memuji keanggunan dan pesonaku, serta keberadaanku di dekatmu, tapi dekatkan dirimu dan sapalah aku dengan hatimu, dan pujilah aku dengan pikiranmu.

"Jika engkau bisa mendekati manusia dengan hatimu, dan menilai manusia dengan pikiranmu, niscaya engkau akan temukan roman hidup manusia yang sebenarnya. Yang dengan hatimu, kamu akan berlaku tulus pada manusia, dan dengan pikiranmu, engkau akan berlaku adil pada manusia."

Sang bidadari kecil diam sambil menatapku yang tak berdaya. Aku pun hanya bisa diam dan menangis dalam hati. Betapa bodohnya diriku yang tak mampu menangkap pesan-pesan Tuhan melalui dirinya.

Aku terlalu cepat tergoda oleh keanggunan dan pesonanya yang memikat. Nafsuku mendudukan diriku pada permadani setan dengan dihiasi keindahan yang menghancurkan. Sehingga hati dan pikiranku tak lagi berfungsi sebagaimana mestinya, seperti yang Tuhan amanatkan.

Dalam kegalauan hati dan penyesalan diri yang tak berperi, sang bidadari kecil itu semakin mendekat dan menyentuh hatiku, dan berkata, "Jika engkau sudah memahami roman hidup ini, maka terimalah aku sebagai kekasih hatimu. Dan aku akan mendamaikan bergelutnya rasa dan pikiranmu saat ini. Namun, jika engkau belum bisa memahaminya, maka aku akan pergi meninggalkan dirimu, secepat aku datang menghampirimu."

Aku hanya bisa diam dan menatapi wajah bidadari kecil itu. Tanpa mengeluarkan kata-kata dan kalimat cinta yang mempesona, aku menganggukan kepala, yang menandakan aku menerima kekasih hatiku.

Malam terus melaju, memasuki sepertiga malam akhirku, aku semakin hanyut dan larut dalam roman hidup yang baru ditemukan. Aku tinggalkan bilik-bilik penantian, aku hentikan menulis pena kerinduan, dan aku rapikan lembaran-lembaran kertas kehidupan. Aku pergi menjemput tidur dan berselimutkan mimpi-mimpi indah bersama bidadari kecilku.

Rumah Kayu, 14 Juli 2020.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun