Mohon tunggu...
Gunawan -
Gunawan - Mohon Tunggu... -

senang membaca, menonton film, kadang menulis, senang jalan-jalan, saat ini berkegiatan sosial di kampung buku

Selanjutnya

Tutup

Catatan

In Memoriam Tito

2 Mei 2011   12:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:09 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Tito, sosok pribadi yang enerjik, aktif, supel dalam bergaul, memiliki solidaritas yang tinggi, memiliki sense of humor yang tinggi menurut dirinya sendiri, karena belum tentu dirasa lucu bagi orang lain termasuk diriku sendiri saat dia bercerita tentang hal-hal lucu dan berkelakar atau bisa dibilang lawakannya “garing”. Yang kurang dalam dirinya ialah dia plin plan dalam membuat keputusan, ini yang membuat bingung teman-temannya termasuk diriku. Mungkin itu yang masih ada dalam ingatanku, dalam perjalanan yang singkat mengenal pribadi seorang Tito di SMU 82 Jakarta 8 tahun silam.
Perkenalan awal dimulai ketika kami bertemu di pembukaan penerimaan ekskul Pencintaan Alam Werdibhuwana, sebuah organisasi yang dinamis dan kokoh, bahkan cukup solid saat itu dalam sebuah keluarga besar anggota Werdibhuwana. Motivasiku saat itu cukup sederhana, aku hanya ingin berpetualang. Pergi kemana saja yang aku suka. Mendaki gunung yang tidak pernah terpikir sebelumnya. Memasuki daerah-daerah yang sangat asing bagiku. Aku hanya tahu bahwa abangku juga seorang anggota Pencinta Alam di SMU yang sama saat aku masih duduk di SMP. Dan tidak sedikit pun aku bertanya-tanya tentang kegiatannya sebagai seorang pencinta alam.

Tahun 1995. Memasuki SMU 82 adalah dunia baru bagiku. Perubahan lingkungan dan gaya hidup memberiku sebuah fase baru dalam perjalanan hidup. Sebuah sejarah baru mulai aku tapaki saat itu. Dalam pikiranku yang sederhana, aku hanya menjalani keputusan Tuhan bahwa aku diterima lagi di sekolah negeri. Sempat terbesit pertanyaan kenapa aku diterima di sekolah SMU 82. Aku tidak mengerti tetapi juga tidak berusaha mencari-cari jawabannya. Hal ini aku syukuri bahwa aku tidak menyusahkan kedua orang tuaku dengan menjalani apa yang peroleh sebagai rizki dari Tuhan.

SMU 82 bagiku adalah sekolah bagi murid-murid yang berasal dari golongan ekonomi menengah ke atas, yang tidak sedikit latar belakang kedua orang tuanya adalah para pejabat, militer karir berpangkat dan para pengusaha yang sukses. Hanya sedikit atau minoritas untuk ukuran ekonomi seperti aku. Sempat muncul rasa minder atau takut memasuki lingkungan baru di sekolahku, tapi aku tetap berusaha untuk menjadi diriku sendiri.

Nyatanya mayoritas mereka adalah teman-teman yang sangat baik, solider, dan memiliki sense of humor yang tinggi atau bahkan bisa dibilang “sangat konyol” dalam bercanda atau berkelakar. Dan ternyata benang merah dari sekolah itu adalah bahwa selalu saja dipertemukan teman-teman dilingkungannya yang bertingkah konyol dari setiap angkatan yang berbeda.

Hingga akhirnya aku merasa nyaman dalam lingkungan sekolah. Tapi yang membuat aku sedih, sebuah faktor yang memisahkan kami atau membuat kami jadi berbeda dalam bergaul adalah di sekolah adalah putaw dan shabu-shabu. Teman-teman yang terlibat dengan barang itu lebih memilih mengasingkan diri sendiri. Begitu juga aku jadi begitu benci terhadap orang-orang yang menggunakannya. Dunia labil dengan segala problemanya.

Tito
Tito, yang aku ingat saat kami sama-sama dikelas satu adalah murid dikelas 1.1 sementara aku masuk kelas 1.5. Dalam kehidupan sehari-hari kami memang sangat jarang bertemu dengannya. Aku cukup menikmati pergaulan dikelas satuku dulu, teman-teman seperti Deni, Roland, Dimas (cenos), philip, wendi dll. Mayoritas Kegemaran kami sama, kami sama-sama menyukai bermain bola saat itu. Bahkan mungkin teman-teman yang tidak begitu suka akan terpaksa atau dipaksakan oleh diri sendiri menjadi suka demi mempererat pergaulan kami dikelas itu. Tetapi memang sangat efektif. Bahwa dengan satu hobi yang kami jalani bersama-sama hubungan pertemanan jadi lebih erat.

Di luar lingkungan sekolah setelah bel pulang sekolah biasanya kami suka “nongrong bareng” di warning (warung kuning) di sebelah pom bensin, 100 meter sebelah selatan sekolah. Disitulah terjadi pertemuan dengan teman-teman yang lingkupnya lebih luas lagi. Teman-teman dari berbagai kelas berbaur bersama dalam canda dan tawa yang tiada ujungnya. Disitulah aku juga bertemu dengan askhaf, ibram, sentot, teman-teman satu organisasi di WB. Tapi hampir aku tidak pernah melihat tito atau wahyu (bejo) atau andriant (pusink) saat itu disana. Jadi hubungan perkenalan dan pertemanan aku dengan tito bisa dibilang belum begitu dalam.

Sang Ketua Osis
Satu tahun berakhir tidak terasa kami sama-sama menginjak kelas dua. Aku di kelas 2.2. dan aku lupa dikelas mana dia saat itu. Kehidupan dalam masa-masa eforia dalam dunia sendirinya begitu dinikmati. Cela-mencela, gurauan, bahkan terkadang melibatkan fisik tanpa empati yang diselubungi sebagai canda tawa menjadi bagian dari hari-hari dalam pertemanan di sekolah.

Yang aku ingat Kegiatan di WB cukup menyibukan kami. Saat itu saat menjabat sebagai ketua diklatsar XII untuk calon anggota baru. Aku juga tidak ingat Tito menjabat apa saat itu, dalam perjalanannya aku hanya ingat bahwa dia disibukan dengan pencalonan Ketua OSIS di sekolah kami. Oleh karena itu dia sering meminta ijin untuk mengikuti kegiatan LDKS (latihan dasar kepemimpinan siswa). Bahkan sampai menginap di sekolah. Aku ingat bahwa komentar teman-teman di LDKS. Bahwa Tito memang orang yang cukup kritis dan vokal. Satu nilai lebih yang menjadi kekuatan kami di WB yang mengirim utusannya dalam perebutan kursi ketua OSIS.

Dan tanpa aku sadari juga bahwa pemilihan telah berlalu, dan pengumuman pun berlangsung dari kuping ke kuping teman-teman di sekolah yang sampai ke telingaku bahwa tito terpilih menjadi ketua OSIS. Dalam hati kecilku, aku salut dengannya bahwa dia bisa menjadi orang dipercaya dan dipilih untuk menjadi ketua OSIS di sekolah itu. Butuh kemampuan, dan pandangan serta keberanian besar untuk mengakomodir kegiatan murid-murid di sekolah. Dan kesalutan bagi kami teman-teman di WB bahwa sepanjang sejarah pemilihan ketua OSIS belum pernah ada satu pun anggota WB terpilih menjadi ketua OSIS. Ini adalah sejarah baru bagi WB. Fenomena yang perlu di catat, minimal dalam kepalaku. sekali lagi, Salut buat Tito!

Pelantikan dan Tragedi
Saat itu aku sebagai BPH (badan pengurus harian) WB bersama teman-teman sedang disibukan dengan pelantikan calon anggota baru yang akan menjadi anggota. Sekian bulan kami diklat dalam tempaan materi, mental dan fisik bersama-sama. Ini yang ditunggu-tunggu bagi kami. Aku begitu juga teman-teman yang lain sibuk mempersiapkan segala peralatan, perbekalan, akomodasi, dokumentasi dan konsep acara dalam pelantikan yang akan diadakan tanggal 19-22 Oktober 1996 (kalau tidak salah). aku persiapkan perbekalan dan peralatan pendakianku.

Saat itu kulihat Tito membeli peralatan baru, sebuah tenda dom dengan kapasitas 4 atau 5 orang. Yang dirasakan berbeda, ekpresinya begitu senang dan sangat baik, dia seperti tidak sabar menunggu-nunggu dalam acara pelantikan ini. Pertanda apa ini. Sudahlah aku abaikan saja saat itu. Lalu mulailah hari yang ditunggu. 19 Oktober kami berangkat dengan truk TNI ke Gunung Bunder, Suka Bumi, Jawa Barat dengan membawa calon anggota 15 orang, bersama panitia dan alumni seluruhnya berjumlah kira-kira 30 orang.

Perjalanan memakan waktu 4-5 jam. Tiba di gunung bunder kami beristirahat sebentar untuk mempersiapkan diri. Berselang 20 menit. Kami mulai menapaki jalur menuju kawah hirup kaki gunung salak. Tiba di kawah hirup pada sore hari, aku tidak tahu betul pukul berapa saat itu. Kami putuskan untuk berkemah disitu. Memang disitu tempat yang sudah termasuk dalam jadwal acara kami. Hampir tidak ada yang perubahan dalam jadwal acara tersebut.

Malam hari di kawah hirup, kegiatan berjalan pada tahap pemulihan fisik masing-masing peserta yaitu makan, minum, merokok (bagi perokok), memakai baju hangat, dan tidak lupa diselingi canda dan tawa. Calon anggota diberi aturan hanya tidur di bivac yang terbuat dari ponco yang mereka bawa. Ini adalah salah satu ujian mereka.

Aku ingat betul Tito begitu senang disana, dia seperti mengalami suasana hati yang sangat senang. Tertawa lepas. Berteriak. Hal yang berbeda yang aku rasakan selama aku melakukan pendakian bersamanya. Pertanda apa ini, aku abaikan lagi. Mungkin Cuma masalah sepele.

Keesokan harinya, 20 Oktober 1996. Waktu menunjukan sekitar pukul 5 pagi. Semua peserta melakukan sholat subuh berjamaah. Termasuk tito sebagai seorang muslim. Diakhir sholat teman-teman segera kembali pada tendanya masing-masing serta berencana mempersiapkan diri menyiapakan acara berikutnya. Aku masih melihat Tito, bersama salah seorang peserta sholat yang masih duduk disana. Dzikir dan doanya cukup lama, terlihat kusyu sekali rasanya. Sepertinya banyak sekali doa-doa yang ia panjatkan. Keinginan-keinginan yang belum tercapai. Harapan-harapan masa depan dalam dirinya. Dan tentunya penghapusan dosa-dosa yang ia miliki sebagai manusia biasa. Serta limpahan pahala dari Yang Maha Kuasa.

Saat itu waktu menunjukan sekitar 7.30 pagi. Matahari sudah menyembul menyirami sinarnya. Hangat sinarnya menusuk kulit. Teman-teman panitia sudah siap dengan perut yang kenyang. Peralatan penyeberangan kering disiapkan. Tali dinamis sepanjang kira-kira 30 meter dibawa ke danau yang ada dekat disana.

Aku, bersama sebagian besar teman panitia turun ke arah danau. Dalam kondisi kami persiapkan kegiatan itu, Tito bersama senior kelas 3 masih ditenda, saat itu ia ingin buang air besar. Lalu ia menuju arah batu kapur lebih tinggi ke arah selatan. Kira-kira 5 meter dari tendanya dia menemukan ceruk lubang dalam disana. Pikirnya mungkin cocok untuk buang air besar disana, karena tidak terlihat oleh siapa pun.
Tanpa menunggu lama duduk ia disana untuk membuang hajat yang tidak tertahankan. Padahal sebelumnya, ia telah diperingatkan terlebih dulu oleh Bang Sahro (alumni dari exispal) untuk tidak membuang hajat disana. Lebih baik dia mencari semak-semak. Tapi peringatan itu tidak digubrisnya. Pikirnya itu hanya persoalan sepele.

Berselang beberapa menit. Adit (salah satu senior kelas 3), memanggil tito dengan alasan bahwa dia diperlukan untuk suatu hal, tapi teriakkannya tak dijawab. Sekeras-kerasnya Adit berusaha memanggil kembali namanya. Tapi juga tak ada jawaban. Adit melihat bahwa adanya tanda-tanda aneh terhadap Tito. Awalnya posisi duduk Tito dengan menghadap ke arah tenda kami berada dimana dari arah tenda kepalanya masih terlihat jelas. Tapi kali ini kepalanya sudah tidak tampak.

Akhirnya, setelah panggilan yang kesekian kalinya dengan diikuti rasa tidak sabar teman-teman. Salah satu senior naik ke atas menuju ke arah tito berada. Setelah sampai, tak disangka, posisi tito tertelungkup ke depan. Ia dalam kondisi pingsan dengan keadaan masih seperti membuang hajat. Akhirnya teman-teman menggotongnya ke dalam tenda. Teman-teman panitia yang sedang membuat alat penyebrangan basah segera dipanggil, dikabarkan bahwa, “Tito pingsan…Tito pingsan…!”

Kami yang dibawah segera menuju ke arah camp. Disana sudah berkumpul beberapa orang panitia tapi tidak termasuk peserta dari calon anggota. Hal ini dirahasiakan agar mereka tidak kaget atau shock mendengar situasi ini. Para senior berusaha menenangkan kami dalam situasi yang tidak diduga ini meskipun aku yakin mereka semua dalam keadaan hati yang bergemuruh.

Hatiku sendiri merasa tidak tenang melihat keadaan Tito yang pingsan. Ketidak tenangan ini bertambah saat mengetahui kondisi bahwa diantara kami tidak ada yang mengetahui teknik P3K (pertolongan pertama pada kecelakaan) dengan benar. Kami hanya mengolesi hidung, dahinya dengan obat masuk angin atau balsem. Aku pikir, mereka termasuk diriku tidak tahu pasti bagaimana kondisi kesehatan Tito saat itu. Karena tidak ada yang bisa mendiagnosa dengan pasti sebab dan akibat yang terjadi dengan Tito.

Yang aku tahu saat itu, bahwa saat dilakukan napas buatan oleh wahyu bejo (teman angkatanku), dari hidungnya seperti terdengar air yang menggerojok, dan nyatanya air itu adalah darah. Kegelisahan kami semakin menjadi-jadi, lalu segera teman-teman membuat tandu dari batang pohon.

Keputusan yang disesalkan…
Setelah Tito dinaikan ke atas tandu dan diikat tubuhnya. Kami harus memilih jalur mana yang harus kami tempuh dalam keadaan yang kritis dan waktu yang singkat ini. Kami sempat berdebat sebentar saat itu soal jalan alternatif. Lalu diputuskanlah oleh bang sahro untuk mengambil jalur arah Gunung Bunder dengan alasan bahwa keadaan jalurnya landai dan tidak sulit.

Mulailah kami bergerak. Tim dibagi menjadi tiga, tim pertama membawa Tito, tim kedua meneruskan acara pelantikan menuju Gunung Perbakti. Dan tim ketiga menjaga peralatan yang kami tinggalkan di kawah Hirup. Aku yang termasuk dalam tim pertama, kami silih berganti mengangkat tandu dan membuka jalan. Para pendaki yang berpapasan dengan kami hanya terpana melihat situasi kami saat itu. Aku berpikir pasti dalam benak mereka muncul ribuan penafsiran yang bisa menciutkan mental mereka.

Tak disangka perjalanan dengan beban membawa tandu yang digotong enam orang antara kanan dan kiri cukup menyulitkan. Jalan yang sempit ditambah beban tubuh Tito dibandingkan aku yang cukup berat sangat menguras tenaga kami saat itu. Jalur terlalu jauh untuk ditempuh, tetapi kami sudah setengah perjalanan. Wahyu, salah sahabat baik Tito mulai tidak sabar untuk terus memberi semangat bahwa kami pasti sampai.

Saat beberapa meter lagi sampai camp gunung bunder. Tenaga sudah terkuras habis. Kami istirahat sejenak. Lemas dalam keadaan ribuan pikiran yang menggelisahkan. Saat kepala Tito diangkat perlahan oleh bang sahro, tampak badannya sudah mulai kaku. Tanda-tanda apa ini. Kegelisahan kami makin memuncak. Wahyu segera memerintahkan untuk segera bergerak lagi. Kami langsung bergegas saat itu juga, disaat itu banyak orang yang akan melakukan pendakian, saat melihat keadaan kami. Mereka urungkan niatnya kembali.

Dan sampailah kami di jalan aspal camp Gunung Bunder. Kebetulan disana ada mobil angkot yang akan kebawah. Mulai kami tawar menawar pada supirnya. Sempat terjadi perdebatan antara kami dan supir karena sang supir tiba-tiba tidak mau mengangkut kami karena melihat tandu Tito, dia hanya tidak mau bertanggung jawab terlibat kalau terjadi apa-apa dengan Tito.

Untuk saja dengan sedikit tekanan, dia akhirnya mau membawa kami ke rumah sakit terdekat. Dalam perjalanan, dalam hatiku masih tersimpan harapan adanya keselamatan Tito, “Awas lo To kalo udah sembuh, badan lo berat banget….!”. pikirku. Aku tak sanggup menatap bola matanya yang sudah tidak jernih lagi itu. Seperti mengaburkan harapan itu sendiri.

Tak lama sampailah kami dirumah sakit. Tito langsung di bawa kedalam untuk diperiksa. Tak berselang lama. Dokter memberitahukan tentang kabar duka, “Tito sudah tiada….!” Dus, kegelisahan dalam hati kami akhirnya meledak juga. Bagaimana kami mempertanggungjawabkan hal ini pada keluarganya? Bagaimana mungkin Tito yang tadi pagi aku lihat masih tertawa dengan senangnya? Bagaimana mungkin dalam sujudnya di waktu subuh dia begitu khusyu dan aku mendapatkan kenyataan bahwa itu adalah tertawanya dan sholatnya yang terakhir.

Tak berselang lama datang orang dari Jakarta, sanak keluarga dari Tito. Mereka pun tenggelam dalam tangisan tidak bisa menerima kenyataan yang terlalu cepat ini. kami diam seribu bahasa, hampir tidak bisa berkata apa-apa. Kemudian setelah urusan di rumah sakit selesai. tim pertama kembali menuju kawah Hirup melalui jalur Cidahu, kaki Gunung Salak, Sukabumi.

Bermalam sebentar di Javanaspa. Keesokan pagi kami dibangunkan, Disana sudah berkumpul alumni WB dari jakarta. Setelah menyegarkan diri, kami bersama-sama naik ke arah Kawah Hirup. Kami memotong jalan melalui kebun bunga tembus langsung ke simpang. Perjalanan sangat singkat. Di depan sudah tampak kawah ratu dan dibaliknya adalah kawah hirup. Dalam hati kecilku, aku sangat menyesali kenapa tidak lewat jalur yang singkat ini saja untuk mengejar waktu. Meskipun jalur di Kawah Ratu begitu sulit. Kalau sedikit bersabar dan hati-hati aku yakin kita bisa sampai disimpang. Dan kita tinggal meminta ijin masuk ke perkebunan bunga. Itu yang masih sedikit aku sesali sekarang…..!

Tapi 8 tahun sudah berlalu….untuk apa terus menerus disesali…perjalanan masih panjang. Pengalaman adalah guru terbaik dalam hidup. Semoga tidak terjadi lagi hal seperti ini bagi yang lain. Meskipun alam selalu menguji kita. Dan takdir selalu menjadi rahasia Tuhan. Kita hanya bisa berusaha dan terus belajar. Salam Rimba….!

Jakarta, 26 Oktober 2005

Gunawan - Manunggal Bawana
Teman seperjuangan Almarhum Kristianto (Tito). Semoga arwahmu diterima oleh Allah SWT. Maafkanku karena telah lama sekali sejak kepergianmu aku belum sempat mengunjungi lagi makammu. Tulisan ini dibuat atas permintaan teman seperjuangan di Werdibhuawana, Askhaf, sekarang dia tinggal dan bekerja di Bandung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun