Mohon tunggu...
Gunawan -
Gunawan - Mohon Tunggu... -

senang membaca, menonton film, kadang menulis, senang jalan-jalan, saat ini berkegiatan sosial di kampung buku

Selanjutnya

Tutup

Catatan

In Memoriam Tito

2 Mei 2011   12:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:09 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yang aku tahu saat itu, bahwa saat dilakukan napas buatan oleh wahyu bejo (teman angkatanku), dari hidungnya seperti terdengar air yang menggerojok, dan nyatanya air itu adalah darah. Kegelisahan kami semakin menjadi-jadi, lalu segera teman-teman membuat tandu dari batang pohon.

Keputusan yang disesalkan…
Setelah Tito dinaikan ke atas tandu dan diikat tubuhnya. Kami harus memilih jalur mana yang harus kami tempuh dalam keadaan yang kritis dan waktu yang singkat ini. Kami sempat berdebat sebentar saat itu soal jalan alternatif. Lalu diputuskanlah oleh bang sahro untuk mengambil jalur arah Gunung Bunder dengan alasan bahwa keadaan jalurnya landai dan tidak sulit.

Mulailah kami bergerak. Tim dibagi menjadi tiga, tim pertama membawa Tito, tim kedua meneruskan acara pelantikan menuju Gunung Perbakti. Dan tim ketiga menjaga peralatan yang kami tinggalkan di kawah Hirup. Aku yang termasuk dalam tim pertama, kami silih berganti mengangkat tandu dan membuka jalan. Para pendaki yang berpapasan dengan kami hanya terpana melihat situasi kami saat itu. Aku berpikir pasti dalam benak mereka muncul ribuan penafsiran yang bisa menciutkan mental mereka.

Tak disangka perjalanan dengan beban membawa tandu yang digotong enam orang antara kanan dan kiri cukup menyulitkan. Jalan yang sempit ditambah beban tubuh Tito dibandingkan aku yang cukup berat sangat menguras tenaga kami saat itu. Jalur terlalu jauh untuk ditempuh, tetapi kami sudah setengah perjalanan. Wahyu, salah sahabat baik Tito mulai tidak sabar untuk terus memberi semangat bahwa kami pasti sampai.

Saat beberapa meter lagi sampai camp gunung bunder. Tenaga sudah terkuras habis. Kami istirahat sejenak. Lemas dalam keadaan ribuan pikiran yang menggelisahkan. Saat kepala Tito diangkat perlahan oleh bang sahro, tampak badannya sudah mulai kaku. Tanda-tanda apa ini. Kegelisahan kami makin memuncak. Wahyu segera memerintahkan untuk segera bergerak lagi. Kami langsung bergegas saat itu juga, disaat itu banyak orang yang akan melakukan pendakian, saat melihat keadaan kami. Mereka urungkan niatnya kembali.

Dan sampailah kami di jalan aspal camp Gunung Bunder. Kebetulan disana ada mobil angkot yang akan kebawah. Mulai kami tawar menawar pada supirnya. Sempat terjadi perdebatan antara kami dan supir karena sang supir tiba-tiba tidak mau mengangkut kami karena melihat tandu Tito, dia hanya tidak mau bertanggung jawab terlibat kalau terjadi apa-apa dengan Tito.

Untuk saja dengan sedikit tekanan, dia akhirnya mau membawa kami ke rumah sakit terdekat. Dalam perjalanan, dalam hatiku masih tersimpan harapan adanya keselamatan Tito, “Awas lo To kalo udah sembuh, badan lo berat banget….!”. pikirku. Aku tak sanggup menatap bola matanya yang sudah tidak jernih lagi itu. Seperti mengaburkan harapan itu sendiri.

Tak lama sampailah kami dirumah sakit. Tito langsung di bawa kedalam untuk diperiksa. Tak berselang lama. Dokter memberitahukan tentang kabar duka, “Tito sudah tiada….!” Dus, kegelisahan dalam hati kami akhirnya meledak juga. Bagaimana kami mempertanggungjawabkan hal ini pada keluarganya? Bagaimana mungkin Tito yang tadi pagi aku lihat masih tertawa dengan senangnya? Bagaimana mungkin dalam sujudnya di waktu subuh dia begitu khusyu dan aku mendapatkan kenyataan bahwa itu adalah tertawanya dan sholatnya yang terakhir.

Tak berselang lama datang orang dari Jakarta, sanak keluarga dari Tito. Mereka pun tenggelam dalam tangisan tidak bisa menerima kenyataan yang terlalu cepat ini. kami diam seribu bahasa, hampir tidak bisa berkata apa-apa. Kemudian setelah urusan di rumah sakit selesai. tim pertama kembali menuju kawah Hirup melalui jalur Cidahu, kaki Gunung Salak, Sukabumi.

Bermalam sebentar di Javanaspa. Keesokan pagi kami dibangunkan, Disana sudah berkumpul alumni WB dari jakarta. Setelah menyegarkan diri, kami bersama-sama naik ke arah Kawah Hirup. Kami memotong jalan melalui kebun bunga tembus langsung ke simpang. Perjalanan sangat singkat. Di depan sudah tampak kawah ratu dan dibaliknya adalah kawah hirup. Dalam hati kecilku, aku sangat menyesali kenapa tidak lewat jalur yang singkat ini saja untuk mengejar waktu. Meskipun jalur di Kawah Ratu begitu sulit. Kalau sedikit bersabar dan hati-hati aku yakin kita bisa sampai disimpang. Dan kita tinggal meminta ijin masuk ke perkebunan bunga. Itu yang masih sedikit aku sesali sekarang…..!

Tapi 8 tahun sudah berlalu….untuk apa terus menerus disesali…perjalanan masih panjang. Pengalaman adalah guru terbaik dalam hidup. Semoga tidak terjadi lagi hal seperti ini bagi yang lain. Meskipun alam selalu menguji kita. Dan takdir selalu menjadi rahasia Tuhan. Kita hanya bisa berusaha dan terus belajar. Salam Rimba….!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun