" I've always been famous. It's just no one knew it yet."
(Lady Gaga)
"Ada juara dalam diri setiap orang. Dan setiap juara wajib engkau hormati."
(Gunawan)
Salah satu yang dibahas di rapat yang saya ikuti di kantor sekolah tempat saya mengajar belum lama ini adalah rencana pembuatan Ruang Inspirasi Sekolah. Apakah itu? Satu ruang di lingkungan sekolah tempat dipamerkannya segala prestasi sekolah dan pencapaian warga sekolah dari tahun awal berdirinya sampai masa yang terkini. Saya sendiri kemudian membayangkan ada sebuah ruangan yang dipenuhi deretan foto-foto orang-orang hebat di dinding berikut piala-piala, medali dan piagam yang dipajang berjejer.
Begitu membanggakan, menggetarkan hati, dan pasti menginspirasi bagi siapapun, terlebih bagi yang merasa sebagai anggota keluarga besar sekolah, saat dia memasuki ruangan itu.
Saya lalu teringat dengan apa yang di luar jauh sana biasa disebut sebagai Hall of Fame, Wall of Fame, atau Walk of Fame. Sedikit-sedikit saya tahu tentang, misalnya, Naismith Memorial Basketball Hall of Fame, Rock and Roll Hall of Fame, atau Holywood Walk of Fame. Tempat dimana jika nama saya ingin terpampang di situ maka saya harus berkontribusi luarbiasa di bidang yang saya jalani. Saya harus diakui oleh banyak orang atau siapapun bahwa dedikasi saya, di bidang rock and roll misalnya, tak pernah sedikitpun diragukan. Dan tentu, ini yang paling penting, pencapaian saya harus secemerlang sinar matahari di siang hari.
Orang-orang kemudian akan berdecak kagum, atau bersikap takzim penuh hormat ketika memandangi foto-foto saya yang di situ. Mereka juga jika diijinkan tentu ingin menyentuh berbagai memorabilia saya yang dipajang untuk mengenang kehebatan saya. Paling tidak mereka akan berfoto di depan gitar saya, jika saya seorang rockstar misalnya. Atau mungkin berfoto di depan jersey dengan nama dan nomor punggung saya karena saya adalah seorang bintang besar NBA.
Hall of Fame, Wall of Fame, atau Walk of Fame adalah pengakuan dan penghormatan yang diberikan kepada seseorang tanpa sedikitpun orang tersebut memintanya. Bahkan, bagaimana bisa memintanya, karena namanya baru ditorehkan di wall of fame setelah orang itu sudah sekian lama berhenti di titik akhir proses berkaryanya. Meninggal dunia.
Dari sini saya mulai berpikir mengapa terlihat begitu eksklusifnya Hall of Fame, Wall of Fame, atau Walk of Fame ini. Betapa sulitnya menjadi famous. Sesedikit itukah orang-orang hebat di dunia ini?
Padahal saya yakin sepenuhnya, seperti yang selalu saya nasihatkan kepada putri saya, bahwa selalu ada juara dalam diri setiap orang. Dan setiap juara wajib dihormati. Maka setiap orang sesungguhnya pantas terpampang namanya di Hall of Fame, Wall of Fame, atau Walk of Fame. Ya, setiap orang berhak dikenang di tempat terhormat itu.
Coba mari pembaca, kenangkanlah sejenak perjuangan orangtua kita masing-masing dalam membesarkan anak-anaknya. Betapa beratnya mereka mengurus dan membesarkan dua, tiga, empat, ... atau bahkan sampai berbelas bilangan anaknya. Jika ada sebuah tempat bernama Great Parents Hall of Fame, saya yakin pembaca semua, termasuk saya, pasti sungguh sangat menginginkan nama dan gambar orangtua kita diabadikan di tempat itu.
Jika di dunia ini ada Wall of Fame untuk para tukang sampah, ingin tanpa ragu saya menorehkan dan mencatatkan nama seorang tukang sampah yang amat saya kenal di dinding terhormat itu. Ia sudah berpuluh tahun setia dan penuh disiplin berkeliling di kampung  saya mengambil sampah dari rumah ke rumah tanpa mengeluh dan dikeluhkan. The best garbage man ever!
Di kampung saya pula saya tahu betul ada seorang ibu sepuh (tua) yang dulu sejak setelah menikah beliau langsung sukarela aktif di kegiatan PKK dan posyandu balita dan berbagai kegiatan kemasyarakatan di lingkungannya. Sebuah rentang waktu puluhan tahun pengabdian tulus tanpa jeda. Jika bisa saya ingin nama beliau tercantum di deretan nama pada Hall of Fame bagi orang-orang yang secara luarbiasa melayani kesejahteraan masyarakat.
Apakah perlu pengabdian berpuluh tahun untuk masuk di Hall of Fame, Wall of Fame, atau Walk of Fame versi saya ini? Tidak juga.
Ada seorang pemangkas rambut berusia muda yang setiap hari mangkal di tempat yang sejuk nyaman, bukan di barbershop ber-air conditioner, tapi di bawah kerindangan sebuah pohon yang besar. Lagi-lagi lokasinya masih di kampung tempat tinggal saya.
Tak ada yang istimewa dari pemangkas rambut itu sebetulnya, selain satu hal yang nanti saya sebutkan. Dia bekerja dengan alat-alat biasa yang dipakai seorang pemangkas rambut. Jam kerjanya juga jelas. Jika pelanggan datang setelah lewat jam kerjanya, ya dia harus puas hanya bisa melongo dan duduk sejenak di bawah pohon besar itu tanpa ketemu sang barber. Ada lagi yang saya khawatirkan jika saya pas dipotong rambut di tempat itu. Bagaimana jika tiba-tiba turun hujan?
Yang tak mungkin dilupakan sampai kapanpun oleh orang yang pernah dicukur rambutnya disini adalah si pelanggan tak pernah dipatok harga tertentu untuk jasa pangkas rambut yang telah dia terima. Ya, pemangkas rambut ini menerima upah seikhlasnya dari pelanggan. Saya ulang, dibayar seikhlasnya.
Ada alasan mengapa dia memasang tulisan BAYAR SEIKHLASNYA di pojok cermin besar yang menghadap pelanggan cukurnya itu. Dia ingin benar-benar menerima uang bayaran yang tanpa ada sedikitpun keberatan dalam hati dari pelanggannya. Satu lagi alasan, dia tak ingin melihat ada orang yang terpaksa tak bisa tampil rapi karena tak cukup uang walau hanya untuk sekedar memangkas rambutnya.
Jika ada tempat penghormatan untuk para barber dan hairstylish, keberatankah anda para pembaca, jika nama pemangkas rambut dan fotonya yang sedang mencukur rambut pelanggan di bawah pohon besarnya itu dipampangkan di Hall of Fame, Wall of Fame, atau Walk of Fame ini ?
Jika saya teruskan lagi untuk menyebut sosok-sosok hebat yang sering tak terlihat oleh banyak orang ini, sudah pasti komputer dan jari saya ini takkan mampu mengikutinya. Anda pun bila mengikuti saya setulus hati, tidak akan bisa.
Saya hanya ingin menutup tulisan ini dengan sebuah ajakan.
Jika bisa dan mampu, bangunlah sebuah Hall of Fame, Wall of Fame, atau Walk of Fame untuk orang-orang hebat di sekitar kita. Tak perlu memimpikan gedung yang megah dan hebat. Pampangkan pencapaian orang-orang ini pada Wall of Fame di dinding balai pertemuan kampung kita misalnya. Di dinding kelas-kelas sekolah kita. Di dinding kantor/pabrik tempat kita bekerja. Di pasar-pasar kita. Di rumah-rumah kita. Di bangunan tempat ibadah kita. Di mana saja.
Sudah saatnya kita mulai harus selalu mengakui, menghargai, dan menampilkan kebaikan dan pencapaian hebat yang dilakukan orang-orang di sekitar kita.
Sudah saatnya pula kita meninggalkan hal sia-sia yang mungkin selama ini sering kita lakukan terhadap orang lain: mencela.
Jika mendirikan Hall of Fame, Wall of Fame, atau Walk of Fame dalam bentuk fisik yang paling sederhana pun kita belum mampu, maka bangunlah Hall of Fame, Wall of Fame, atau Walk of Fame itu di hati kita. Hati kita akan selalu mampu memuat dan mencatat kehebatan dan kebaikan orang-orang di sekitar kita. Seberapapun banyaknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H