"Ngati-ati."
"Aja nakal ya Le"
"Manut karo Bu Guru."
"Jaga tumindakmu neng dalan."
(Berhati-hatilah.
Jangan nakal ya Nak.
Patuh kepada Ibu Guru.
Jaga sikapmu di jalan.)
Kata-kata berupa pesan dalam bahasa Jawa seperti itu selalu saya dengar dari ibu saya ketika saya siap berangkat sekolah. Pesan-pesan itu kadang jelas saya terima di otak saya. Tapi sering juga hanya masuk ke telinga kanan dan keluar lewat telinga kiri.Â
Maklum, bagi seorang anak esde umur 7-8 tahun pesan ibu saya yang 'monotonous' itu tak bisa menyentuh akal saya. Mungkin juga ketika telinga saya mendengarkan pesan rutin sebelum berangkat sekolah itu, saya malah lagi memikirkan barter saya nanti dengan teman sekelas saya. Kelereng sejumlah sekian butir saya akan ditukar seekor jangkrik berikut kandangnya.
Yang penting, ketika ibu saya mulai mengeluarkan petuah hariannya saya harus mengangguk-angguk saja. Beres. Jangan sekali-kali bertanya, nanti bisa panjang. Setelah itu saya segera berlari ke luar rumah. Sudah ada kawan sekolah yang menunggu. Begitulah.