Sebagai “guru ndesa”, karena memang sekolah tempat saya mengajar di sebuah desa pinggiran di timur Kota Solo, pada suatu pagi yang cerah selebih dari duapuluh tahun yang lalu saya pernah “meramal” apa yang terjadi pada sekolah-sekolah kita di masa depan.
Saya sampaikan ramalan saya itu kepada anak-anak di ruang kelas. Semoga ada sebagian siswa di angkatan tersebut yang membaca tulisan ini dan semoga mereka ingat dan terkenang dengan prediksi yang saya sampaikan dalam percakapan santai dengan anak-anak remaja itu.
Kira-kira begini percakapan di tengah pelajaran yang saya sampaikan saat mereka sedang menulis dan mengerjakan tugas latihan yang saya berikan. Para pelaku percakapan saya singkat saja, saya sebagai G (guru), MM (murid-murid), dan satu-satu murid saya sebagai M1,M2,M3 dan seterusnya.
G: Bosen ya, tiap hari masuk sekolah?
MM: Iyyyaaa lahhh Paaakkkk!!! (Saat itu mereka bersekolah 6 hari perminggu)
G: Gimana kalo hari masuk sekolah kalian dikurangi?
MM: Yesssss… Pakkk! Setuju bangettt!!!
M1: Iyya nih Pak. Pusing Pak, setiap hari sekolah, main saya jadi terlantar Pak.
M2: Tiap hari guru ngasih PR nih Pak.
G; Jadi kalo kamu banyak di rumah, PR jadi sedikit ya?
M2: Iyya dong Pak.
G: Emang kalian pingin libur berapa hari dalam seminggu?
Kelas senyap sesaat, mereka ternyata malah mikir ketika diberi kesempatan enak menyebut pilihan angka libur mereka. Walaupun itu baru sekedar gagasan bebas tanpa resiko.
Dan akhirnya….
M1: 2 hari Pak, Sabtu-Minggu.
G: Bagus.
M2: 3 hari Pak.
G: Bagus! Harinya apa dong?
M2: Jumat-Sabtu-Minggu Pak.
M3: Sabtu-Minggu-Senin aja Pak.
G: Biar kamu bebas gak upacara bendera ya?
M3: Wkwkwk….
M4: Masuk 2 hari seminggu aja Pak.
G: Wowww… Asyik banget ya sekolah kamu. Banyakan di rumah, kamu nanti ngapain?
M4: Ada aja deh Pak.
G: Ngapain coba?
M4: Mmm..nyari rumput Pak. Angon kambing, terus bantu bapak di pasar.
G: Gak mancing? (Saya tahu anak ini hobbynya mancing ikan di kali)
M4: He he …
……………………
Lalu saya mulai menerangkan kemungkinan belajar jarak jauh dengan dipandu guru. Saya jelaskan pula kepada mereka bahwa walau banyak di rumah, bukan berarti mereka bebas merdeka tidak belajar.
G: Kalian gak perlu setiap hari masuk sekolah. Tetapi kalian tetap harus belajar.
MM: Caranya gimana Pak?
G: Ya pake computer di rumah kalian. Nanti belajar lewat internet.
MM: Lah, kalo gitu kok kita masih disuruh masuk ke sekolah Pak?
G: Ada yang kalian tetap harus masuk. Misalnya praktik di laboratorium, berolahraga di lapangan sekolah, atau kegiatan lain yang gak bisa lewat internet. Selebihnya kalian belajar di rumah saya pandu dari rumah saya atau dari sekolah.
MM: Pak, kapan kita belajar kayak gitu ?
G: Belum dalam waktu dekat. Mungkin saat anak-anak kalian nanti seusia kalian, baru jalan itu di sekolah kita.
MM: Wwwaauuuuuwwwwww…!!!
………………………………
Pembaca, jangan bayangkan percakapan itu terjadi di saat sekarang. Itu kenangan duapuluh tahun yang lalu. Tidak mudah menerangkan secara singkat kata-kata semisal internet, online, satelit.
Jangan bayangkan telepon android dan segala aplikasi cerdas tingkat dewa di smartphone.
Kami para guru desa saat itu hanya punya telepon genggam jadul, dan tak semua murid punya benda itu.
Pembelajaran jarak jauh pertama masuk ke otak saya dari koran dan siaran radio gelombang pendek luar negeri VOA Washington dan BBC London. Sejak remaja saya mengikuti acara pembelajaran Bahasa Inggris dari siaran mereka. Saat itu juga saya pernah membaca artikel koran dan sempat heran dan gak bisa membayangkan pembelajaran berhitung matematika diselenggarakan lewat radio untuk wilayah terpencil di sebuah negara yang disebut Mexico. Gak kebayang nerangin hitungan angka yang sulit lewat suara di radio!
…………………….
Waktu terus berlalu…. Tahun-tahun saya lalui dengan rutinitas mengajar seperti biasa tanpa hambatan berarti, hingga kemudian terjadi wabah global tahun 2020. Pandemi Covid 19 menyerbu Indonesia. Banyak hal tak terprediksi dan tak terbayangkan terjadi di segala lapangan, termasuk di dunia pendidikan.
Walaupun saya pernah belajar Bahasa Inggris dari Radio Australia dan BBC dengan buku panduan, saya tetap tergagap dengan situasi perubahan pembelajaran di masa pandemi Covid 19 ini. Saya sebagai guru harus cepat segera menyesuaikan diri. Selama ini mungkin saya gak begitu care. Betapa internet, sosial media, dan segala aplikasi ajaib berikut perangkatnya yang terus bertumbuh menjadi senjata yang harus saya kuasai dengan memadai untuk menjalankan pembelajaran saya. Demi keselamatan saya dan murid-murid saya.
Mengajar online di masa pandemi Covid 19 ini mengagetkan saya.
Tapi saya siap.
Dan tetap selalu optimistik.
(Tulisan ini saya persembahkan untuk para guru, siswa-siswa, dan orangtua yang bahu-membahu bekerjasama dengan segala kemampuan yang ada dalam menghadapi pandemi Covid 19)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H