Mohon tunggu...
Harmonisasi
Harmonisasi Mohon Tunggu... Lainnya - Manusia Kritis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Nikmati prosesmu

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Agar Menjadi Toleran

11 September 2020   14:06 Diperbarui: 11 September 2020   14:09 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : Alfit Lyceum : 


"wahai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kalian saling kenal-mengenal [bukan saling bermusuhan]..." Al-hujurat ayat 13

Terorisme adalah musuh kemanusiaan. Para teroris mengorbankan orang lain demi meraih 'kenikmatan' individual. Olehnya itu, terorisme mesti dilawan. Langkah awal melawan terorisme adalah melawan intoleransi. Sebab, terorisme adalah intoleransi level tinggi. Anda tidak akan menjadi teroris, jika anda bersikap toleran terhadap perbedaan.

Meminjam istilah Deleuze dan Guattari, intoleransi kini bertumbuh-kembang dengan cara rizom. Mereka melipat gandakan akar-akar mereka, menyusup ke setiap instansi, dari pendidikan hingga militer. Di masyarakat awam, apalagi. Ada berapa banyak mesjid yang kerap 'dikotori' oleh celoteh para penceramah intoleran dan para penebar kebencian. Pun juga dengan dunia maya, kelompok intoleran menjamur. Dengan ini, penting untuk melawan intoleransi dengan kekuatan hukum, ilmu dan akal sehat. Ini mesti dimulai dari sekarang dan oleh setiap orang, sebelum sel-sel intoleransi diaktifkan dan menjadi teroris-teroris baru yang akan memorak-morandakan NKRI di masa mendatang.

Setidaknya, untuk menjadi agen toleransi, dibutuhkan kesadaran akan ketiga hal berikut:

Pertama, kesadaran akan keniscayaan KERAGAMAN alam

Hakikat alam adalah beragam. Tanpa keragaman, alam bukan lagi alam. Beda dengan Tuhan yang hakikatnya adalah ketunggalan tanpa keragaman. Firman-Nya, inna kholaqnakum min zakarin wa untsa, wa ja'alnakum syu'uban wa qobaila, lita'arofuu..." (Al-hujarat:13)

Toleransi adalah deklarasi kehambaan hamba, sekaligus penegasan ketuhanan Tuhan. Bahwa hamba adalah bagian dari alam, yang niscaya beragam, niscaya berbeda. Bukan hanya perbedaan ras, suku, bahasa, budaya dan semacamnya, tetapi juga perbedaan pahaman. Dan tentu, perbedaan pahaman bukan bermakna kesalahan. Sebab boleh jadi, mengikuti eksistensi yang bergradasi dalam pandangan Mulla Sadra, semua pahaman tersebut juga benar dalam levelnya masing-masing.

Walhasil, toleransi yakni kesadaran akan keniscayaan keragaman alam, keragaman budaya dan pengetahuan. Namun demikian, dikarenakan alam ini bertuhan, sedang Tuhan adalah simbol kesatuan, maka keragaman alam adalah keragaman yang manunggal. Itulah mengapa, sebeda-bedanya manusia, tetap saja memiliki dimensi persamaan. Betapa pun kita berbeda pandangan dalam beragam hal, namun tetap saja kita bersepakat dalam hal-hal tertentu.

Seperti kata Ali bin Abi Tholib, mereka yang bukan saudaramu dalam iman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan. Boleh jadi kita berbeda ihwal apakah Pancasila itu sesuai dengan syariat Islam atau tidak. Tapi saya yakin, kita sepakat bahwa korupsi itu tidak sesuai dengan syariat Islam. Membantu pemuda yang ingin menikah tapi tidak punya uang, itu pasti syariat Islam. Mari kita utamakan yang pasti-pasti, dan mendialogkan lagi yang masih ragu-ragu.

Melihat keragaman sebagai ketunggalan, atau memandang sama sesuatu yang berbeda, itu tumit. Kecuali jika kita melpaskan pandangan dualitas. Seperti kata Rumi, dui ro cun burun kardam, du olam ro yeki didam/ sejak kuletakkan pandangan dualitasku, dua alam kulihat satu"

Kedua, kesadaran ak//an diferensiasi ISLAM ONTOLOGIS dengan ISLAM EPISTEMOLOGIS

Dalam Islam Ontologis, terdapat kesatuan antara Islam dan Muslim. Muslim adalah Islam yang berjalan, ia adalah manifestasi sempurna Islam. Dengan ini, menolak seruannya, dan tidak mengikuti perilakunya, berarti menolak dan tidak mengikuti Islam. Islam Ontologis adalah Islam Rasul Saw.

Sementara itu, dalam Islam Epistemologis, terdapat perbedaan antara Islam dan Muslim. Muslim bukan manifestasi sempurna Islam. Iya, Muslim adalah manifestasi Islam dalam gradasinya masing-masing. Islam epistemologis adalah Islam tafsiran, Islam yang dipahami oleh para ulama sepeninggal nabi. Dan Islam inilah yang sampai kepada kita hari ini. Maka tentu, menolak fatwa para ulama, atau tidak mengikuti perilakunya, bukan berarti menolak dan tidak mengikuti Islam. Tapi bermakna, menolak pahaman mereka tentang Islam. Tidak ikut aksi bela ulama,bela tauhid, dan bela Islam, bukan berarti tidak membela ulama, tauhid dan Islam.

Islam epistemologis mesti diukur korespondensinya dengan Islam ontologis. Ini penting, agar kita tidak meng-ulama-kan kriminal. Islam atau muslim yang menyakiti hati tetangganya, hanya karena berbeda mazhab dan agama, pastilah bertentangan dengan Islam ontologis. Sebab Islam ontologis adalah Islam rahmat bagi semesta, Islam yang tidak melarang berbuat baik pada mereka yang berbeda iman. Firman-Nya, "la yanhakumullahu anillazina lam yuqotilukum fiddini wa lam yukhrijukum min diyarikum, an tabarruhum wa tuqsitu 'ilaihim. Innallaha yuhibbul muqsitin." (Al-mumtahanah:8)

Walhasil, toleransi yakni menyadari bahwa Islam kita adalah Islam epistemologis yang mesti didialogkan, bukan dipaksakan.

Ketiga, kesadaran bahwa INDONESIA itu PLURAL sekaligus TUNGGAL

Indonesia yakni keragaman, namun bukan keragaman yang tercerai-berai. Indonesia adalah keragaman yang manunggal. Keragaman Indonesia diikat oleh Pancasila yang bersemboyan bhinneka tunggal ika, yakni banyak dalam satu, satu dalam banyak. Tauhid Pancasila yakni melihat keragaman Indonesia sebagai satu kesatuan. Maka, kafir Pancasila adalah upaya memaksakan warna agama tertentu di Indonesia.

Merah putih adalah simbol keragaman suku, bahasa dan agama. Dengan ini, tak perlu lagi menambahkan warna ras atau agama tertentu dalam bendera. Sebab, warna merah dan putih telah mencakup semua warna. Menambahkan warna tertentu ke dalam merah putih, berarti menodai bendera. Pun juga dengan seragam nasional. Seragam nasional merupakan seragam pemersatu semua ras, agama dan mazhab. Tak perlu lagi dicingkrangkan atau dihiasi dengan cadar, itu menodai kesatuan.

Membakar bendera berarti membakar simbol keragaman. Menghina suku tertentu, atau bertindak eksploitatif terhadap agama tertentu di NKRI, berarti membakar realitas bendera, berarti mengoyak tenun kebangsaan. Anehnya, kita lebih marah pada mereka yang membakar simbol (bendera), dan cenderung berpihak pada mereka yang menghina realitas yang disimbolkan bendera, yaitu suku dan agama.

Walhasil, toleransi yakni menyadari bahwa Indonesia bukan negara satu agama, satu mazhab. Indonesia adalah negara ragam agama, ragam mazhab, dimana keragaman tersebut disatukan dalam pilar-pilar transenden Pancasila.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun