Oleh : Alfit Lyceum :Â
"wahai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kalian saling kenal-mengenal [bukan saling bermusuhan]..." Al-hujurat ayat 13
Terorisme adalah musuh kemanusiaan. Para teroris mengorbankan orang lain demi meraih 'kenikmatan' individual. Olehnya itu, terorisme mesti dilawan. Langkah awal melawan terorisme adalah melawan intoleransi. Sebab, terorisme adalah intoleransi level tinggi. Anda tidak akan menjadi teroris, jika anda bersikap toleran terhadap perbedaan.
Meminjam istilah Deleuze dan Guattari, intoleransi kini bertumbuh-kembang dengan cara rizom. Mereka melipat gandakan akar-akar mereka, menyusup ke setiap instansi, dari pendidikan hingga militer. Di masyarakat awam, apalagi. Ada berapa banyak mesjid yang kerap 'dikotori' oleh celoteh para penceramah intoleran dan para penebar kebencian. Pun juga dengan dunia maya, kelompok intoleran menjamur. Dengan ini, penting untuk melawan intoleransi dengan kekuatan hukum, ilmu dan akal sehat. Ini mesti dimulai dari sekarang dan oleh setiap orang, sebelum sel-sel intoleransi diaktifkan dan menjadi teroris-teroris baru yang akan memorak-morandakan NKRI di masa mendatang.
Setidaknya, untuk menjadi agen toleransi, dibutuhkan kesadaran akan ketiga hal berikut:
Pertama, kesadaran akan keniscayaan KERAGAMAN alam
Hakikat alam adalah beragam. Tanpa keragaman, alam bukan lagi alam. Beda dengan Tuhan yang hakikatnya adalah ketunggalan tanpa keragaman. Firman-Nya, inna kholaqnakum min zakarin wa untsa, wa ja'alnakum syu'uban wa qobaila, lita'arofuu..." (Al-hujarat:13)
Toleransi adalah deklarasi kehambaan hamba, sekaligus penegasan ketuhanan Tuhan. Bahwa hamba adalah bagian dari alam, yang niscaya beragam, niscaya berbeda. Bukan hanya perbedaan ras, suku, bahasa, budaya dan semacamnya, tetapi juga perbedaan pahaman. Dan tentu, perbedaan pahaman bukan bermakna kesalahan. Sebab boleh jadi, mengikuti eksistensi yang bergradasi dalam pandangan Mulla Sadra, semua pahaman tersebut juga benar dalam levelnya masing-masing.
Walhasil, toleransi yakni kesadaran akan keniscayaan keragaman alam, keragaman budaya dan pengetahuan. Namun demikian, dikarenakan alam ini bertuhan, sedang Tuhan adalah simbol kesatuan, maka keragaman alam adalah keragaman yang manunggal. Itulah mengapa, sebeda-bedanya manusia, tetap saja memiliki dimensi persamaan. Betapa pun kita berbeda pandangan dalam beragam hal, namun tetap saja kita bersepakat dalam hal-hal tertentu.
Seperti kata Ali bin Abi Tholib, mereka yang bukan saudaramu dalam iman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan. Boleh jadi kita berbeda ihwal apakah Pancasila itu sesuai dengan syariat Islam atau tidak. Tapi saya yakin, kita sepakat bahwa korupsi itu tidak sesuai dengan syariat Islam. Membantu pemuda yang ingin menikah tapi tidak punya uang, itu pasti syariat Islam. Mari kita utamakan yang pasti-pasti, dan mendialogkan lagi yang masih ragu-ragu.
Melihat keragaman sebagai ketunggalan, atau memandang sama sesuatu yang berbeda, itu tumit. Kecuali jika kita melpaskan pandangan dualitas. Seperti kata Rumi, dui ro cun burun kardam, du olam ro yeki didam/ sejak kuletakkan pandangan dualitasku, dua alam kulihat satu"