Akhir-akhir ini, energi bangsa lebih banyak fokus kepada pemilihan umum (Pemilu), Pilpres dan Pilleg, namun sebenarnya, banyak permasalahan bangsa yang luput dari hadapan publik, diantaranya adalah mengenai nasib Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dimana antar pimpinannya "bertengkar" di Mahkamah Konstitusi (MK). Setidaknya ada tiga permasalahan yang dihadapi oleh lembaga yang lahir dari rahim reformasi ini, Pertama, lemahnya kewenangan DPD dibandingkan dengan "saudara kandungnya" Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kedua, masuknya kader partai politik menjadi anggota DPD, Ketiga, sengketa keabsahan Pimpinan DPD.
Masalah Kewenangan
Terkait dengan permasalahan yang pertama, DPD sejak lahir memang sudah di "setting" tidak menjadi lembaga yang mengimbangi kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Para pengubah Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) era tahun 1999-2002 menciptakan DPD dan DPR berdasarkan prinsip "weak becameralism" (sistem dua kamar yang lemah).  Lemahnya kewenangan DPD, misalnya dalam hal pembentukan undang-undang (law making process) dimana DPD hanya diberikan kewenangan "dapat mengajukan RUU", "ikut membahas RUU" dan  "dapat melakukan pengawasan atas UU" dan ini pun hanya RUU dan UU tertentu saja yaitu: otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan ekonomi, dan perimbangan keuangan pusat dan daerah, sementara disisi lain konstitusi kita mengatur bahwa  DPR adalah "pemegang kekuasaan membentuk undang-undang".  Reformasi sebenarnya sudah mengubah sifat pemerintahan kita dari sentralistik (memusat) menjadi desentralisasi (kedaerahan), maka sudah seharusnya DPD sebagai wakil daerah diberikan kewenangan yang seimbang dengan DPR.
Kewenangan yang lemah tersebut, diperlemah lagi oleh regulasi setingkat UU, yaitu  UU MD3 dan UU tentang Pembentukan PUU. "Pelemahan" ini dapat dilihat yaitu: pertama, RUU yang dari DPD disamakan dengan RUU dari fraksi DPR (DPD dianggap sebagai fraksi DPR bukan sebagai lembaga negara), kedua, DPD hanya "ikut membahas RUU" sampai  tingkat I saja, namun tidak sampai tingkat II/ daftar inventaris masalah (DIM), ketiga DPD tidak ikut membahas program legislasi nasional (prolegnas). Jadi, diibaratkan DPD itu non-job alias "nganggur" namun mendapatkan fasilitas yang sangat besar dari negara. Hal ini merupakan paradoks kelembagaan negara yang sangat merugikan negara dan rakyat Indonesia.
Sampai tulisan ini dibuat DPD memang sudah memperjuangkan hal ini di MK sebanyak dua kali (Putusan 92/PUU-X/2012 dan Putusan 79/PUU-XII/2014) hampir seluruh permohonannya dikabulkan, kecuali permohonan untuk ikut "memberikan persetujuan RUU" dan kewenangan untuk "membahas RUU APBN bersama-sama dengan DPR dan Presiden".
Penulis menilai dengan kemenangan ini, setidaknya telah memberikan angin segar bagi DPD untuk terus mendorong agar kewenangannya semakin kuat. Namun kedepannya yang perlu dipikirkan adalah bagaimana menciptakan lembaga DPD semakin kuat sebanding dengan DPR, sama seperti lembaga perwakilan di Amerika Serikat. Dimana House or Representative sama kuat dengan Senat, sehingga selain adanya mekanisme saling kontrol produknya (UU) berkualitas baik. Caranya adalah dengan memperjuangkan amandemen kelima konstitusi.
Anggota DPD Pengurus Parpol
Masalah lainnya yang tidak kalah penting adalah masuknya beberapa kader partai politik menjadi anggota DPD, suatu hal yang "haram" bagi lembaga DPD. Setidaknya ada 78 dari 132 anggota DPD adalah pengurus Parpol, bahkan ketua DPD saat ini Oesman Sapta Odang (OSO) adalah Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Melihat realitas banyaknya pengurus parpol menjadi anggota DPD, maka tidak akan ada lagi mekanisme kontrol antar lembaga perwakilan karena hampir semua anggota lembaga perwakilan berasal dari partai politik. Apabila hal tersebut terjadi, maka marwah DPD sudah tidak ada lagi sebagai lembaga yang bebas dari intervensi parpol. Padahal konstitusi jelas telah mengatur bahwa calon DPR diusung "partai politik" sementara calon DPD dari jalur "perseorangan" atau non-Parpol.
MK sebenarnya sudah memberikan tafsir konstitusional terkait hal ini (Putusan Nomor 30/PUU-XVI/2018), yaitu melarang anggota partai politik maju sebagai calon. MK beralasan DPD merupakan lembaga perwakilan daerah, apabila anggotanya berasal dari Parpol maka hal itu dapat menimbulkan distorsi politik atau lahirnya perwakilan ganda (double representation parpol) dalam pengambilan keputusan.
Menurut penulis kedepannya harus dibuat aturan, bahwa pada saat mencalonkan ataupun sudah menjabat sebagai anggota DPD tidak boleh menjadi pengurus di partai politik, apabila ternyata terbukti menjadi pengurus parpol, maka harus didiskualifikasi oleh KPU atau diberikan sanksi pemberhentian oleh badan kehormatan DPD. Larangan ini belum ada aturannya, UU MD3 misalnya, hanya melarang anggota DPD merangkap menjadi, pejabat negara lainnya, PNS dan pekerjaan profesional seperti advokat.
Sengketa Pimpinan
Sengketa lembaga DPD berawal dari pembatasan jabatan pimpinan DPD dari lima tahun menjadi 2,5 tahun, pembatasan ini sudah lama yaitu sejak tahun 2015, sejak Irman Gusman, GKR Hemas, dan Farouk Muhammad terpilih sebagai pimpinan DPD Periode 2014-2019. Pemicunya, antara lain, ketidakpuasan terhadap kinerja Irman Gusman sebagai Ketua DPD, yang terpilih untuk kedua kalinya setelah sebelumnya menjabat pada Periode 2009-2014. Irman juga menjadi Wakil Ketua DPD Periode 2004-2009.
Tatib DPD Nomor 1 Tahun 2014, yang berlaku pada saat pemilihan Oktober 2014, menyatakan masa jabatan pimpinan DPD sama dengan masa keanggotaan DPD (lima tahun). Berdasarkan ketentuan inilah pimpinan DPD dipilih sehingga otomatis mereka menjabat hingga 2019. Namun tatib DPD tersebut langsung diubah ditengah jalan melalui Tatib No. 1/2016, lalu kemudian diubah menjadi Tatib No. 1/2017 agar masa jabatan tersebut bisa diberlakukan secara surut (retroaktif). Akibatnya, masa jabatan Irman Gusman, GKR Hemas, dan Farouk Muhammad berakhir per 1 April 2017.
Pimpinan DPD yang dipotong masa jabatan melakukan perlawanan, hasilnya tatib pemotongan masa jabatan dibatalkan Mahkamah Agung (MA), argumen inti MA mengatakan bahwa, pemotongan masa jabatan bertentangan dengan UU MD3. Putusan MA yang membatalkan baik Tatib No. 1/2016 maupun Tatib No. 1/2017 dikeluarkan pada tanggal 29 Maret 2017.
Namun, pada 4 April 2017, Sidang Paripurna DPD yang dipimpin oleh pimpinan sementara DPD (anggota tertua AM Fatwa dan anggota termuda Riri Damayanti) ternyata melakukan perubahan atas Tatib DPD No. 1/2017 menjadi Tatib DPD No. 3/2017. Tatib DPD No. 3/2017 Â tersebut dijadikan dasar oleh Wakil Ketua MA Suwardi untuk melakukan pemanduan sumpah jabatan terhadap OSO, Nono Sampono, dan Darmayanti Lubis yang "seolah-olah" dipilih berdasarkan Tatib No. 3/2017 itu. Hal inilah yang membuat pimpinan DPD yang masa jabatannya dipotong, yaitu GKR Hemas dan Farouk Muhammad membawa kasus ini ke MK, menjadi sengketa lembaga negara (sebelumnya sudah dibawa ke PTUN namun tidak diterima/N.O).Â
Menurut penulis, pimpinan DPD yang sah tidak ada saat ini, karena OSO dkk diangkat berdasarkan Tatib yang tidak sah, apa jadinya nanti apabila MPR tiba-tiba mengamandemen konstitusi dan memotong masa jabatan presiden ditengah jalan? hal ini dapat menimbulkan keguncangan politik nasional. Maka MK sebagai the guardian of constitution wajib tampil memutus perkara ini dengan seadil-adilnya, bebas dari intervensi pihak manapun.
Langkah Kedepan
Kedepannya, DPD harus melakukan langkah-langkah setidaknya empat hal, pertama, konsolidasi kekuatan untuk melakukan amandemen kelima UUD 1945, sembari mengupayakan amandemen, DPD dapat melakukan konvensi ketatanegaraan (misalnya pidato kenegaraan dibuat dua kali, dihadapan DPR dan DPD, kedua, lakukan revisi UU Pemilu dan UU MD3 dengan melarang anggota DPD sebagai pengurus parpol,  baik pada saat mencalonkan diri maupun saat menjabat, ketiga, masa jabatan pimpinan DPD harus diatur setingkat UU bukan tatib, keempat, lakukan konsolidasi dan dukungan moril kepada lembaga terkait terutama kepada Presiden, MPR, KPU dan MK dimana secara bersama-sama merumuskan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk  mencarikan jalan keluar atas permasalahan ini, karena masalah lembaga negara adalah masalah bangsa dan negara yang wajib diselesaikan secara bersama-sama oleh seluruh lembaga negara.
Alangkah sia-sianya nanti apabila lembaga negara yang diatur di konstitusi tidak memiliki pekerjaan alias non-job dan hanya sibuk terus "berantam" memikirkan kepentingannya sendiri. Kapan lagi memikirkan rakyat yang menggaji mereka?
-Gunawan Simangunsong-
Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Hukum Kenegaraan Universitas Indonesia
Peneliti Pada Pusat Studi Hukum Tatanegara Universitas Tarumanagara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H