Mohon tunggu...
Gunawan Simangunsong
Gunawan Simangunsong Mohon Tunggu... Administrasi - Gunawan Simangunsong seorang Junior Asscociate di Refly Harun & Partners saat ini sedang menempuh Pascasarjana Universitas Indonesia Peminatan Hukum Kenegaraan. Untuk menghubungi bisa di gunawansimangunsong14@gmail.com

Lawyer at Refly Harun and Partners, Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Hukum

DPD: Nasib Anak Kandung Reformasi

14 Februari 2019   22:26 Diperbarui: 15 Februari 2019   11:54 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sengketa lembaga DPD berawal dari pembatasan jabatan pimpinan DPD dari lima tahun menjadi 2,5 tahun, pembatasan ini sudah lama yaitu sejak tahun 2015, sejak Irman Gusman, GKR Hemas, dan Farouk Muhammad terpilih sebagai pimpinan DPD Periode 2014-2019. Pemicunya, antara lain, ketidakpuasan terhadap kinerja Irman Gusman sebagai Ketua DPD, yang terpilih untuk kedua kalinya setelah sebelumnya menjabat pada Periode 2009-2014. Irman juga menjadi Wakil Ketua DPD Periode 2004-2009.

Tatib DPD Nomor 1 Tahun 2014, yang berlaku pada saat pemilihan Oktober 2014, menyatakan masa jabatan pimpinan DPD sama dengan masa keanggotaan DPD (lima tahun). Berdasarkan ketentuan inilah pimpinan DPD dipilih sehingga otomatis mereka menjabat hingga 2019. Namun tatib DPD tersebut langsung diubah ditengah jalan melalui Tatib No. 1/2016, lalu kemudian diubah menjadi Tatib No. 1/2017 agar masa jabatan tersebut bisa diberlakukan secara surut (retroaktif). Akibatnya, masa jabatan Irman Gusman, GKR Hemas, dan Farouk Muhammad berakhir per 1 April 2017.

Pimpinan DPD yang dipotong masa jabatan melakukan perlawanan, hasilnya tatib pemotongan masa jabatan dibatalkan Mahkamah Agung (MA), argumen inti MA mengatakan bahwa, pemotongan masa jabatan bertentangan dengan UU MD3. Putusan MA yang membatalkan baik Tatib No. 1/2016 maupun Tatib No. 1/2017 dikeluarkan pada tanggal 29 Maret 2017.

Namun, pada 4 April 2017, Sidang Paripurna DPD yang dipimpin oleh pimpinan sementara DPD (anggota tertua AM Fatwa dan anggota termuda Riri Damayanti) ternyata melakukan perubahan atas Tatib DPD No. 1/2017 menjadi Tatib DPD No. 3/2017. Tatib DPD No. 3/2017  tersebut dijadikan dasar oleh Wakil Ketua MA Suwardi untuk melakukan pemanduan sumpah jabatan terhadap OSO, Nono Sampono, dan Darmayanti Lubis yang "seolah-olah" dipilih berdasarkan Tatib No. 3/2017 itu. Hal inilah yang membuat pimpinan DPD yang masa jabatannya dipotong, yaitu GKR Hemas dan Farouk Muhammad membawa kasus ini ke MK, menjadi sengketa lembaga negara (sebelumnya sudah dibawa ke PTUN namun tidak diterima/N.O). 

Menurut penulis, pimpinan DPD yang sah tidak ada saat ini, karena OSO dkk diangkat berdasarkan Tatib yang tidak sah, apa jadinya nanti apabila MPR tiba-tiba mengamandemen konstitusi dan memotong masa jabatan presiden ditengah jalan? hal ini dapat menimbulkan keguncangan politik nasional. Maka MK sebagai the guardian of constitution wajib tampil memutus perkara ini dengan seadil-adilnya, bebas dari intervensi pihak manapun.

Langkah Kedepan

Kedepannya, DPD harus melakukan langkah-langkah setidaknya empat hal, pertama, konsolidasi kekuatan untuk melakukan amandemen kelima UUD 1945, sembari mengupayakan amandemen, DPD dapat melakukan konvensi ketatanegaraan (misalnya pidato kenegaraan dibuat dua kali, dihadapan DPR dan DPD, kedua, lakukan revisi UU Pemilu dan UU MD3 dengan melarang anggota DPD sebagai pengurus parpol,  baik pada saat mencalonkan diri maupun saat menjabat, ketiga, masa jabatan pimpinan DPD harus diatur setingkat UU bukan tatib, keempat, lakukan konsolidasi dan dukungan moril kepada lembaga terkait terutama kepada Presiden, MPR, KPU dan MK dimana secara bersama-sama merumuskan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk  mencarikan jalan keluar atas permasalahan ini, karena masalah lembaga negara adalah masalah bangsa dan negara yang wajib diselesaikan secara bersama-sama oleh seluruh lembaga negara.

Alangkah sia-sianya nanti apabila lembaga negara yang diatur di konstitusi tidak memiliki pekerjaan alias non-job dan hanya sibuk terus "berantam" memikirkan kepentingannya sendiri. Kapan lagi memikirkan rakyat yang menggaji mereka?

-Gunawan Simangunsong-

Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Hukum Kenegaraan Universitas Indonesia

Peneliti Pada Pusat Studi Hukum Tatanegara Universitas Tarumanagara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun