cangkang pagi terbuka memijarkan mutiara putih
dunia tenggelam dalam lautan kemuning
aroma embun menyebar temani hembusan angin
batas malam merayap hilang
gelap perlahan sembunyi dibalik lubang lubang bayangan
kehangatan memeluk
rimbunan hijau bangkit di atas bebatang tegak
selokan dan sungai bergeliat memercik kilau
burung kembali suapi anak anaknya
ramai lenguhan sapi rindukan rerumput
nenek karsih selesai ikat reranting
pucuk daun singkong yang terhimpun dalam kumpulan
berjejal di keranjang sulaman bambu
langkah tanpa alas topang kerentaan
tertatih lalui kembali jalanan basah setapak
sesekali berhenti rapikan ikatan kain sisa waktu
sulur dan dedaunan sibuk menyapa tubuhnya
akar akar menggoda langkah
nenek karsih berbincang dengan keramahan alam tanpa kata
sekeranjang pucuk daun untuk beberapa gelas beras
sejumput garam dan pemanis
sedikit lembaran uang tersisa dalam lipatan kain
gubug berdinding jalinan bilah bambu menopang atap rumbia
tersenyum menanti
perempuan berkalung emas berdiri di muka pintu
dengan kemewahan melingkari tubuh
kembali kisahkan keramaian mimpi
kisahkan hidup dalam pelukan hangat rumah berdinding batu
kehidupan yang menjadi mudah dengan merangkai pinta
puluhan orang telah datang seperti itu
nenek karsih hanya diam menggeleng
tak peduli kan arti semua kisah itu
nenek karsih tak tahu arti lebih
tak mengerti mengapa kepapaan harus dipamerkan bertukar belas kasih
perempuan berkalung emas
lontarkan amarah
perintah sang kacung runtuhkan batang batang hidup
nenek karsih hanya tersenyum asih
dihibur gemerisik daun rumbia
iba hatinya
pada orang yang berkisah tentang mimpi namun bertingkah seperti api
telah satu warsa sang kekasih mendahului
lelaki gagah yang selalu menemaninya dengan hati
lelaki gagah yang selalu tegar berkata
-sudah, cukuplah meminta pada alam
-cukuplah semua ini
-sang maha pengasih sudah berlebih memberi, tak layak pintakan belas kasih pada yang lain