[caption caption="Sumber gambar dari akun facebook teman."][/caption]
Pagi yang cerah secangkir kopi susu manis telah tersuguh diatas meja. Aroma kopinya yang begitu menggoda ditambah senyuman sang istri tercinta menambah semangat dan cerianya pagi ini. Gairah menulisku pun tumbuh kembali yang lama vakum dikarenakan kesibukan yang terus menyita waktu untuk menata kehidupan yang baru.
Ditemani kicauan burung-burung pagi yang hinggap di atas genteng beranda rumah, aku menggoreskan aliran-aliran kata demi kata yang seakan tak tersendat lagi. Kebetulan hari ini hari Sabtu hari santai bagiku selama 5 hari tersita oleh kesibukan yang baru mengajar di kelas kelas besar yang disebut sebagai kampus. Dan yang diajari juga menyandang sebutan maha yaitu mahasiswa.
Sambil menyeruput kopi dan menyantap beberapa potong gorengan akupun menuangkan keresahanku terhadap tuduhan orang-orang yang setiap saat membenci Jokowi. Entah untuk keberapa kali lamunanku menerawang merasakan betapa kuat dan legowonya nya Pak Jokowi terhadap fitnahan dan cemoohan bertubi-tubi baik di media mainstream maupun media sosial.
Aku tak habis pikir selalu saja ada bahan yang menurutku sangat remeh temeh namun selalu mereka goreng untuk mengolok-ngolok seorang Jokowi. Menurutku tak ada yang fundamental yang menjadi bahan kritikan mereka semuanya hanya berupa remah-remah yang sepele namun diblow-up seakan-akan itu berita besar dan kesalahan besar dari seorang Jokowi.
Ingat mulai heboh kancing jas,minum dengan tangan kiri, crane jatuh karena kedatangan Jokowi di Arab Saudi. Lalu kemarin ke amerika disambut tukang sampah, dan yang lebih heboh masalah foto suku anak dalam yang katanya settingan dan barusan kemarin masalah istilah bahasa tol laut yang menurut mereka adalah jalan tol di atas laut. Sungguh hal-hal remeh - temeh ini laris manis menjadi bahan “uyak-uyakan” mereka kepada Jokowi.
Lalu saya juga kemarin sempat tercenung saat menonton tv swasta yang mengundang seorang budayawan Sujiwotejo yang dengan kata-kata saktinya “Pemimpin bertangan besi mematikan nyali pemimpin yang dinabikan mematikan nalar” selalu diulang-ulangnya saat wawancara di tv. Dan itu menjadi bahan untuk menyerang pendukung jokowi dan menuduh bahwa jokowi itu dinabikan. Hal yang absurd dari seorang budayawan menebarkan kebencian kepada Pemimpin yang bukan tangan besi dan bukan nabi karena faktanya dilapangan tidak seperti slogan yang dia ungkapkan.
Jadi sebenarnya siapa sih yang menabikan Jokowi?
Jika kita telusuri sejak kampanye pilpres dan sampai kemenangan Jokowi dan dilantik pada tanggal 20 Oktober 2014 yang lalu, sejak pelantikan Jokowi para pendukung Jokowi sudah melupakan Prabowo. Prabowo tidak ada dalam daftar kebencian para pendukung Jokowi.
Maklumlah biasanya yang kalah akan segera dilupakan. Beda kasus dengan Rossi yang berkali-kali juara dan kemarin gagal karena mendapat tempat start urutan bontot akibat tindakannya menjegal Marquez. Ya itu kesalahan dia tak bisa mengontrol emosi jika kemarin dia tak menjegal Marquez kemungkinan dia jadi juara terbuka lebar.
Jadi jika dikatakan pendukung Jokowi itu membenci Prabowo seperti tulisan mas Iskandar Zulkarnaen seorang admin Kompasiana itu salah besar. Yang benar pendukung Jokowi sudah melupakan Prabowo kalau lupa jangan kan benci teringat sajapun tidak. Para pendukung Jokowi hanya kan bereaksi jika ada fitnah keji yang dilakukan para hater kepada Jokowi itu saja.
Tapi sudahlah kita kembalikan ke topik siapa sebenarnya yang menabikan Jokowi? Bisa saja para hater itulah yang menabikan Jokowi. Setiap saat mereka memikirkan Jokowi. Setiap saat mereka tak ingin Jokowi berbuat salah. Jokowi harus sempurna dan tak boleh salah sedikitpun. Jika ada kesalahannya sekecil apapun harus dibuat heboh seolah-olah negara sudah dalam keadaan genting dan diambang kehancuran dan ujung-ujungnya Jokowi harus mundur dari jabatan presiden.
Semakin ke sini pola pikir dan nalar para haterlah yang kelihatan sudah mati, atau bahkan tak punya nalar sama sekali. Jika pun mereka mendapat kepuasan bathin dan keuntungan finansial seperti pengelolah fanspage sekelas jonru yang bahan jualannya adalah kejelekan Jokowi akan kehilangan mata pencariannya jika dia dibui atau fanspagenya diberedel.
Menurut pandangan saya pribadi Pak Jokowi orang yang sangat welas asih sehingga membiarkan Jonru mencari makan untuk anak dan istrinya dengan cara menjelekan beliau. Kalau mau menangkap jonru bagi kepolisian ya mudah saja namun pak Jokowi tak membolehkanya.
Mungkin dengan demikian kita semua akan jadi faham bahwa kebencian yang dipelihara terus menerus akan menyebabkan kegagalan dalam membina kasih sayang dan berakhir pada kehampaan hati dan jiwa si penyebar kebencian itu.
Walau alibi mereka melakukan jihad dengan menganggap bahwa mereka dalam garis yang lurus berdasarkan tuduhan bahwa Jokowi itu pemimpin pembohong,ingkar janji dan yang bertangan besi atau bahkan dinabikan oleh pendukungnya makanya mereka akan terus menyebar kebencian dengan alasan perjuangan dalam kebenaran menurut versi mereka.
Bahkan mungkin dalam pandangan mereka Jokowi sudah disamakan dengan Firaun yang harus dilaknat setiap hari. Saya yakin mereka mendoktrin orang-orang yang tak bisa berfikir jernih dengan doktrin demikian itu.
Bahkan saya juga pernah mendengar doktrin dari mereka bahwa korupsi di negara yang tidak berhukum dengan Al Qur’an dan hadist dibolehkan karena merupakan bentuk perjuangan melawan thogut (berhala) musuh Allah. Makanya tak heran golongan mereka banyak pejabatnya yang tertangkap KPK melakukan korupsi den kecurangan lainnya mungkin dianggapnya itu jihad.
Sangat disayangkan jika hal seperti ini terus menjadi contoh bagi generasi muda yang masih mencari jati diri terus-terusan dicekoki dengan doktrin kebencian maka dikhawatirkan gereasi kita akan tumbuh menjadi generasi pembenci dan mudah diprovokatori lalu berbuat anarkis.
Saya pernah melakukan survey kecil-kecilan terhadap mahasiswa saya dengan pertanyaan kepada mahasiswa yang benci Jokowi mengapa mereka benci jokowi? Dan kebanyakan menjawab dengan rujukan media abal-abal seperti PKSpiyungan dan fanspage jonru.
Betapa hal ini menjadi bentuk kekhawatiran saya. Dan ternyata mahasiswa tersebut terindikasi telah ikut kegiatan suatu organisai atau pengajian dengan doktrin-doktrin tertentu yang menjadi ideologi mereka. Saya memang tidak bisa serta merta memaksa mereka untuk tidak ikut-ikutan kegiatan yang merusak pemikiran kritis dan nalar sehat mereka. Namun pelan-pelan saya akan menyadarkan mereka.
Bagi suatu faham tertentu memang pemimpin dianggap sebagai nabi. Bahkan selevel kiayi di pesantren sangat dihormati para santrinya itu sudah menjadi gambaran umum kehidupan pesantren di Indonesia. Ada istilah kuwalat jika melawan kiyai atau pemimpin sekte adalah hal wajar yang kita dengar.
Tapi jika sampai menuduh para pendukung Jokowi menabikan Jokowi itu sungguh hal yang luar biadab . Sampai berita para penduduk di desa yang berebut air bekas cucian kaki Jokowi diekspos besar-besaran untuk mendukung tuduhan mereka bahwa Jokowi adalah benar-benar nabi untuk para pendukungnya.
Wallahu ‘alam bishowab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H