Mohon tunggu...
Hotdi Gultom
Hotdi Gultom Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa di IPB University

Hobi Nulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gadis Kecil Bernama Lila

11 Januari 2025   18:16 Diperbarui: 11 Januari 2025   18:16 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hujan turun deras membasahi atap seng pasar yang sudah berkarat. Di sudut gelap sebuah gang pasar, seorang anak perempuan duduk termenung di atas kotak kayu bekas. Namanya Lila, usianya baru sembilan tahun, namun wajahnya menyiratkan beban yang tak seharusnya ditanggung oleh anak seusianya.

"Cepat berdiri, Lila! Kita harus mulai sekarang sebelum pasar sepi," suara nyaring itu datang dari seorang perempuan paruh baya yang dikenal sebagai Bu Mirna. Tubuhnya masih tegap, namun ia sengaja menggulung selendang di lengannya, memberikan kesan bahwa tangannya lemah dan tak bertenaga. Di sisi lain, ia menggandeng Lila, membuat mereka tampak seperti pasangan ibu dan anak yang terlunta-lunta.

Lila hanya diam, matanya menatap tanah yang becek. Ia ingin memberontak, tetapi rasa takut pada Bos Pasar, pria bertubuh besar yang menjualnya kepada Bu Mirna, selalu menghantuinya. Bos Pasar adalah penguasa bayangan di tempat itu, mengendalikan segala aktivitas ilegal, termasuk perdagangan anak. Lila hanyalah salah satu korban yang dipaksa menjalani kehidupan penuh penderitaan.

"Ingat, kau hanya perlu menangis saat aku mulai bernyanyi. Jangan lupa tatap orang-orang itu dengan mata sedihmu. Kalau kau berani macam-macam, kau tahu sendiri akibatnya," ancam Bu Mirna sambil mencengkeram lengan kecil Lila.

Lila mengangguk pelan. Dalam hati, ia menangis, merindukan kehidupan lamanya yang sederhana tapi penuh kebahagiaan. Sebelum ia dijual, ia tinggal di desa kecil bersama neneknya. Mereka hidup dari berkebun, meski tak selalu cukup, mereka bahagia. Namun, saat neneknya meninggal, hidup Lila berubah menjadi mimpi buruk.

Di tengah pasar, Bu Mirna mulai bernyanyi dengan suara yang sengaja dibuat serak dan lemah. Lagu itu adalah tentang kesedihan, tentang kemiskinan, tentang anak yang kehilangan ayah dan ibu. Lila berdiri di sampingnya, memegang kaleng bekas susu kental manis. Matanya mulai berkaca-kaca, bukan karena ia mengikuti perintah Bu Mirna, tetapi karena ia benar-benar merasa sedih. Ia merasa seperti boneka tanpa jiwa, dimainkan oleh orang-orang yang hanya peduli pada keuntungan.

Orang-orang di pasar mulai memperhatikan. Beberapa dari mereka memasukkan koin ke dalam kaleng yang dipegang Lila. Seorang ibu muda bahkan memberikan selembar uang kertas seraya berkata, "Semoga kalian diberi kekuatan."

Namun di antara keramaian itu, ada seorang pria tua penjual jamu yang memperhatikan Lila dengan seksama. Namanya Pak Samin. Ia sudah puluhan tahun berjualan di pasar itu dan tahu betul seluk-beluk kehidupan di sana. Ada sesuatu di mata Lila yang membuatnya tergerak. Mata itu tidak seperti mata anak-anak lain yang sering dia lihat dipaksa mengamen. Mata itu memancarkan harapan yang masih tersisa.

Setelah Bu Mirna dan Lila selesai mengamen di lorong pasar, Pak Samin mendekati mereka. "Bu Mirna, bolehkah saya bicara sebentar?" tanyanya dengan suara rendah.

Bu Mirna menyipitkan mata, "Ada apa, Pak Samin?"

"Anak ini, dari mana kau mendapatkannya?" tanyanya, sambil melirik Lila yang berdiri gemetar di belakang Bu Mirna.

"Bukan urusanmu. Anak ini anakku sendiri," jawab Bu Mirna cepat, nada suaranya meninggi.

Pak Samin menggeleng pelan. "Aku tahu siapa kau, Mirna. Dan aku tahu anak ini bukan anakmu. Kau bisa membohongi orang lain, tapi tidak aku."

Bu Mirna terdiam sejenak, lalu menarik Lila pergi. Namun, sebelum mereka melangkah lebih jauh, Pak Samin berkata, "Aku punya tempat aman untuknya. Biarkan dia pergi, dan kau tak akan kulaporkan pada Bos Pasar atau polisi."

Kata-kata itu membuat Bu Mirna berhenti. Ia tahu Pak Samin tidak main-main. Setelah beberapa saat, ia mendorong Lila ke arah Pak Samin dengan kasar. "Ambil saja dia kalau kau mau. Tapi jangan harap aku tak akan bicara dengan Bos Pasar tentang ini!" ancamnya sebelum pergi tergesa-gesa.

Pak Samin meraih tangan Lila dengan lembut. "Kau aman sekarang, Nak. Ayo ikut aku."

Lila hanya menatapnya dengan mata bingung. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya, apakah ini hanya awal dari penderitaan baru atau benar-benar sebuah akhir dari semua mimpi buruknya?

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun