Beberapa waktu lalu, banyak media yang memberitakan tentang Anggota DPR yang meminta fasiitas Negara, istri-istri anggota DPR yang pelesirian ke luar negeri dan anggota DPRD yang meminta fasilitas pada menteri MenPAN-RB untuk berkunjung ke Sydney. Persoalan tersebut seoalah ingin menggambarkan watak-watak dari para wakil rayat negara ini. Sebagai wakil rakyat yang notabene merupakan bagian dari pejabat negara, sangat rentan dalam penggunaan fasilitas negara. Tugas dan tanggung jawab yang tinggi dan beban kerja yang berat menjadi alasan pembenar bahwa pejabat negara memang memiliki hak untuk di fasilitasi. Namun apakah serta merta fasilitas negara dapat digunakan untuk kepentingan pribadi? Kepentingan yang tidak ada sangkut pautnya bagi kepentingan rakyat?
Jika merujuk pada definisi fasilitas negara dalam Kepmen Keuangan No 225/MK/4/1971 tentang Pedoman Pelaksanaan Inventarisasi Barang-barang Milik Negara, bahwa yang disebut fasilitas negara adalah dikuasai oleh negara/pemerintah, dibiayai oleh APBN atau APBD, di bawah pengurusan lembaga-lembaga negara dalam arti yang luas, tidak termasuk barang atau kekayaan yang dimiliki oleh BUMN/BUMD, yang pemanfaatannya ditujukan secara khusus untuk kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Artinya penggunaan fasiitas negara harus bermuara pada kepentingan penyelenggaraan negara dan pemerintahan.
Pengertian tersebut tegas, bahwa penggunaan fasilitas negara, sekecil apapun tidak memiliki korelasi dengan kepentingan pribadi. Kepentingan pribadi tidak dapat di fasilitasi oleh kepentingan negara.
Dekadensi Mental Negarawan
Menurut Prof Bagir Manan, lembaga negara terdiri dari tiga jenis berdasarkan fungsinya, yaitu fungsi lembaga negara yang menjalankan fungsi negara secara langsung atau bertindak untuk dan atas nama negara, lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kemudian lemabaga negara yang menjalankan fungsi administrasi negara dan tidak bertindak untuk dan atas nama negara. Dan lembaga Negara penunjang atau badan penunjang yang berfungsi untuk menunjang fungsi alat kelengkapan negara.[1] Artinya pejabat negara adalah pejabat yang lingkungan kerjanya berada pada lembaga negara yang merupakan alat kelengkapan negara beserta derivatifnya berupa lembaga negara pendukung.
Tentu sebagai pejabat negara sikap dan tingkah lakunya menjadi cerminan identitas bangsa dan negara. Tidak terkecuali dengan keluarganya. Oleh karena itu, Â sikap negarawan pejabat negara dan keluarganya menjadi hal yang penting karena daya sorot publik pada jabatan yang diembannya.
Pelajaran penting terjadi di awal tahun ini. Semacam perwajahan dari pejabat negara saat ini bahwa dengan mengatas namakan jabatannya, statusnya sebagai pejabat negara seolah mahfum ketika keluarganya pun ingin menikmati fasilitas negara meski tidak ada sangkut pautnya untuk kepentingan penyelenggaraan pemerintahan, yaitu berpelesir. Seolah biasa saja dan tidak perlu malu ketika meminta untuk difasilitasi oleh fasilitas yang menggunakan dana dari APBN atau APBD yang salah satu sumbernya berasal dar pajak yang dipungut dari rakyat.
Akhirnya logika keruh macam apa yang coba dipertontonkan ketika dekadensi metal negarawan menjadi bahaya laten yang terus menampar wajah pejabat negara ini. Pejabat negara tak jarang memamerkan kedegilannya demi kuasa dan hasrat. Diteriaki rakyatnya pun seolah biasa saja, tak jadi soal. Pertanyaanya bagaimana negara ini akan menjadi bangsa yang berwibawa ketika pejabatnya saja menjatuhkan derajatnya dengan mengemis fasilitas negara? Apakah alasan sangat teknis seperti kesulitan mendapatkan akses transportasi lebih penting daripada harga dirinya sebagai seorang pejabat negara atau perlukan menggunakan kop surat resmi lembaga?
 Atau ketika adanya kunjungan dinas, tak ada rasa malu untuk mengajak keluarganya. Kunjungan ke luar negeri seolah menjadi ajang aji mumpung. Mumpung gratis, mumpung dibiayain negara, mumpung ada uang rakyat yang dapat dimanfaatkan. Budaya malu bukan lagi menjadi kebiasaan. Tentu semua kembali pada masing-masing individu.
Rakyat pun seolah tak akan menghiraukan meskipun akhirnya menggunakan uang pribadi dalam pelesiran tersebut. Yang dipahami bahwa pejabat negara di Indonesia banyak yang tidak berpihak pada kondisi rakyatnya. Karakternya kekuasaan hanya melihat rakyat sebagai bagian dari eksploitasi kuasa yang bermanfaat dan dimanfaatkan ketika musim pemilu tiba. Begitulah realitas yang dipahami oleh rakyat kebanyakan. Tidak bisa tidak, akhirnya kinerja pejabat negara yang sungguh-sungguh membangun bangsa ini ternoda oleh sikap dan mental yang dekaden dari sekelompok rombongan genit. Sekali lagi, semua hanya akan kembali pada masing-masing individu.
Rakyat ini sungguh merindukan sosok negarawan seperti Bung Karno yang sampai selesai menjabat sebagai presiden, ia tidak memiliki harta yang berlimpah sepantasnya ia sebagai pendiri bangsa, begitu pula Bung Hatta yang mengajarkan kesederhaan pada keluarganya atau mantan Kapolri Hoegeong yang hidup sederhana dan tegas dimulai sejak dalam keluarga atau Baharudin Lopa, yang meminta isrtinya lebih baik naik angkot ke pasar daripada menggunakan mobil dinasnya.
 Sikap teladan itu yang tidak tampak dari kebanyakan pejabat negara hari ini. Hasrat kekuasaan seolah mengaburkan nilai-nilai moral dan keberpihakan pada rakyat ini. Lebih memilih foto-foto cantik dibawah guguran daun sakura.
Dengan mentalitas yang demikian dekadennya tersebut, tak heran jika banyak pejabat negara Indonesia yang mudah terjerat dalam kepentingan pragmatis, seperti suap dan korupsi karena memang secara sikap dan mental tidak beriringan dengan tujuan bernegara dan berbangsa.
Duta  Negara dan Bangsa
Seperti yang telah dituliskan diatas, bahwa berlibur merupakan hal dari setiap orang. Tidak ada larangan yang mengatur tentang seseorang tidak boleh berlibur, apalagi dengan biaya sendiri. Dengan biaya dari negara saja sudah jamak dilakukan. Namun, mencoba melihat sisi subtansial dari pejabat negara, yang tidak dilihat dari sebatas jabatannya saja namun juga identitas negara yang tersemat kepada pejabat negara. Sehingga pejabat negara merupakan duta dari negara tersebut.
Selayaknya seperti perwakilan, pejabat negara merupakan perwakilan dari identitas sebuah negara. Jika mengacu pada alokasi dana promosi pariwisata Indonesia ke luar negeri pada tahun 2016 mencapai Rp 2,95 triliun. Jumlah ini mengalami peningkatan jika dibandingkan tahun 2015 hanya sekitar Rp 1,15 triliun. Tujuan dari gelontoran dana tersebut merupakan cerminan bahwa Indonesia serius untuk menggarap Pariwisata Nusantara untuk go to global. Banyak iklan bertebaran dimana-mana, terpampang di Jersey Liverpool atau meng-endorse Rio Haryanto agar bisa bertarung di F1 tujuannya adalah mengenalkan Indonesia sebagai negara yang tidak kaya akan koruptornya namun juga kaya akan keindahan alamnya.
Alih-alih bersinergi dengan tujuan pemerintah. Slogan wonderfull Indonesia tidak dipahami secara sungguh-sungguh oleh keluarga pejabat Indonesia. Sekali lagi, anggap saja para pejabat Indonesia adalah duta Indonesia. Identitas Indonesia dimata dunia namun nyatanya keluarga pejabat Indonesia bukannya memperkenalkan Indonesia dimata dunia namun lebih senang berpelesiran ke luar negeri, mempetontonakan gaya hidup yang berjarak dengan rakyat Indonesia pada umumnya. Sekali lagi tidak jadi masalah, toh uang pribadi. Namun jika bermental negarawan tentu akan lain cerita.
Dalam kasus  pelesiran keluarga dan wakil rakyat keluarga negeri, mereka menampik adanya penggunaan uang negara dalam perjalanan tersebut, namun menggunakan uang pribadi. Jika melihat Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia NOMOR 65  PMK. 02 / 2015 TENTANG Standar Biaya Masukan Tahun  Anggaran 2016. Peraturan Menteri tersebut digunakan sebagai batas tertinggi atau estimasi harga yang dijadikan patokan dalam pembiayaan yang dikeluarkan oleh APBN.
 Jika mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan tersebut, terdapat baku anggaran yang dapat digunakan sebagai pembanding bahwa untuk perjalanan ke Prancis untuk pejabat golongan A paling tinggi $ 512 per hari/per orang. Sebagai uang harian. Sedangkan ke Jepang untuk pejabat Golongan A paling tinggi  $ 519 per hari dan per orang. Sedangkan ke Australia, $ 636 per hari/ orang.
Sedangkan untuk biaya tertinggi tiket pesawat Jakarta-Paris pulang –pergi alokasinya untuk kelas bisnis $ 6.126 per orang. Untuk ke Tokyo $ 2. 675 per orang. Sedangkan ke Sydney $ 4.237 per orang.
Perhitungan angka-angka diatas jika kegiatan tersebut merupakan perjalanan dinas yang dibiayai oleh negara. Kalau pun menggunakan biaya sendiri, kisaranya tidak jauh berbeda. Artinya ada berapa ribu dollar yang dibelanjakan di luar negeri ditengah upaya pemerintah membangun pariwisata Nasional. Ditengah kondisi negara yang lebih banyak rakyat miskinnya daripada masyarakat kelas atasnya.
Seharusnya pengertian dan pemahaman dasar tersebut sudah paripurna dipahami oleh para pejabat negara dan keluarganya.
Â
[1] Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta, FH-UII Press, 2004
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H