Terlempar hiruk pikuk duniawi.
Meregang nyawa bukan tujuan.
Sesekali menoleh dari depan.
Gerangan apa yang di raih?
Khayal pun tak segan membius.
Â
Termangu dengan keji.
Tak sadar menuba otak kiri.
Sejenak diam...
Namun tak bersahabat !
Â
Siapa melintas?
Habis di babat dengan sastramorgana !
Â
Berharap mereka takut?
Jangankan takut?
Parit kening segaris pun tak nampak !
Â
Aneh !
Â
Kursi pun gerah.
Seakan membujuk tuannya untuk beranjak sadar.
Â
Tuan berkata iya !
Namun tak bersuara.
Hanya langkah keledai yang menohok riak.
Â
Hawa sejuk kembali menyapa.
Pertanda keledai sudah tak nampak.
Â
Biar saja dia berlari.
Sekencang-kencangnya karena masa lalu.
Asa timpang menyesal pun lumrah terjadi.
Â
Dua ribu tahun berkutat pada asa.
Menahun sungguh untuk Keledai Subur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H