Motang Rua adalah Pahlawan lokal yang berasal dari Manggarai yang menentang keras terhadap pemerintah Kolonial Belanda. Hingga lerlawanan heroiknya berujung pada penangkapan dan pengasingan oleh Belanda.
Pengadilan Belanda di Makasar Memutuskan Motang Rua dan Adiknya Nancung Laki Rani alias Kraeng Bakok divonis hukuman penjara 20 tahun di Batavia (jakarta).
Kemudian Motang Rua dipindahkan ke Sawa Lunto untuk dipekerjakan sebagai tambang batu bara milik pemerintah kolonial Belanda.
Saat itu rakyat Aceh berada dibawah kepemimpinan Teuku Umar dan Cut Nya Din mulai melakukan perlawanan terhadap kolonial Belanda. Sebagai narapidana Belanda, Motang Rua diperintahkan untuk membantu Belanda menumpas perlawanan rakyat Aceh itu. Namun, alih-alih membantu Belanda, menurut Wily Gracias, Motang Rua malah membantu pasukan Teuku Umar dan Cut Nya Din.
Akibatnya Motang Rua dibuang ke Saigon Vietnam. Â Menurut Wily, di Saigon Motang Rua jatuh cinta dengan gadis Vietnam dan kemudian memperistrikannya. Gadis Vietnam itu rupanya anak dari sahabat saudagar Belanda di Saigon. Daei perkawinan itu dia memperoleh tiga anak, yaitu Nona Koe, Suje dan Guru.
Tak hanya Motang Rua, sejumlah pejuang dari Manggarai dihukum Belanda. Mereka dipenjarakan selama 10 sampai 20 tahun di pulau Jawa ( Nusa Kambangan, Betawi), Sumatera (Palembang, Padang, Sawah Lunto, Aceh) Timor ( Kupang). Kebanyakan dari mereka meninggal dunia ditempat pengasingan.
Selain Motang Rua beberapa diantara mereka berhasil pulang ke Manggarai, adalah Nicik (Kraeng Gantem), Hasa, Jagu, Nancung Laki Rani, Rede dan Pakar Ame Jaga.
Motang Rua sendiri kembali ke tanah Manggarai pada tahun 1927. Saat itu Manggarai sudah berada dibawah pemerintahan Raja Bagung, Raja ke 2 kerajaan Manggarai.
Motang Rua kembali melalui jalur Aimere. Saat itu sedang gencar-gencarnya pembangunan jalan Trans Flores jalur Ruteng- Ende. Menurut Wily secara tak terduga Motang Rua bergemu Raja Bagung di Tengku Teang.
Karena kepulangan Motang Rua pengerjaan jalan itu dihentikan sementara. Raja Bagung dan seluruh Rakyat kemudian menuju Beo Kina untuk melaksanakan acara Caca Selek(mensyukuri kepulangan dari perantauan).
Ketika sudah sampai di Manggarai Motang Rua tetap benci kepada Belanda. Dia bahkan tidak pernah mau bertemu dengan orang berkebangsaan Belanda yang bekerja di Manggarai.
Akan tetapi menjelang akhir hayatnya karena begitu kuat pengaruh Khatolik dimanggarai, pada tahun 1950, Motang Rua akhirnya dibaptis oleh Markus Sampu seorang guru agama Khatolik dengan nama Petrus Guru.
Pada tahun 1951, putri sulungnya Nona Koe datang ke Manggarai dan bertemu dengan Motang Rua Guru Ame Guru di Teras, Desa Liang Bua Kecamatan Rahong Utara.
Ketika itu Motang Rua enggan menerima kedatangan putrinya Nona Koe di ediamaannya di Beo Kina. Dengan alasan ibu dari Nona Koe yang berasal dari Saigon Vietnam itu belum diberinya mas kawin (belis) sesuai adat istiadat Manggarai.
Dua tahun setelah dibaptis menjadi Khatolik, tepatnya 25 Maret 1952 pada sekitar usia 92 tahun akhirnya Motang Rua meninggal dunia. Dia kemudian dimakamkan di Beo Kina tanah kelahirannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H