Di liuk perbukitan Wangkung, Desa Pacar, Manggarai Barat, rona alamnya masih asri nun sejuk lantaran tanaman di sekitar mampu menghadirkan udara yang segar.
Aneka tanaman dibudidayakan oleh para petani. Ada cengkeh, kopi, durian dan baru-baru ini porang.
Tak dinyana, beberapa tanaman yang saya sebutkan itu punya nilai tawar yang cukup menggairahkan di tengah petani.
Pada uraian kali ini, saya khususkan membahas tanaman porang, karena lagi menyala-nyala di hati petani.
Lebih lanjut, berkenaan dengan musim penghujan seperti saat ini, tanaman porang sedemikian digalakkan tanamnya oleh para petani. Ada yang ditanam dengan cara tumpang sari, monokultur, dlsb.
Alih-alih menahan rasa gatal atau mengipas bau busuk bunga porang yang seolah-olah menampar batang hidung. Ya, demi cuan, cuan bosku!😉
Saya pun begitu. Kendati baru mau coba-coba tanam, namun asyik juga ternyata jika ditekuni.😁
Pengenalan tanaman porang
Pengenalan tanaman porang pada petani di Wangkung baru pada 2018. Dan memang waktu itu bikin heboh, ihwal banyak pedagang dari luar yang datang membeli dengan harga mahal.
Bayangkan saja, umbi porang perkilo dihargai 55 ribu rupiah. Sementara biji katak 350 ribu rupiah.
Bak kesetrum belut listrik, banyak petani yang kelonjatan sembari sesibuk semut menyusuri hutan, mencari keberadaan tanaman itu.
Nahasnya, setahun kemudian pangsa pasar tanaman porang "mati gaya" akibat disambar pandemi C-19. Harapan baru muncul pada 2023. Tetapi harga jualnya anjlok ke ribuan.
Namun, hal tersebut tak menyurutkan semangat petani untuk menghidupkan kembali usaha pertanian porang mereka.
Sumber pembibitan
Berbicara soal sumber pengadaan bibit porang di Kampung Wangkung pada awalnya, menurut Amang Pong (salah satu petani yang cukup serius bertani porang) bibit-bibit itu didapatkan dari penyisiran hutan sekitar. Karena memang porang merupakan tanaman hutan.
Baru kemudian dikumpulkan jadi satu untuk berikutnya dibudidayakan dalam skala besar.
Sampai saat ini Amang Pong masih juaranya porang di Wangkung. Itu dilihat dari luas areal tanaman porang miliknya. Karena memang beliau sangat serius dari awal.
Walau harus diakui bila selama itu, ada pasang surut soal harga. Sehingga pada dua tahun terakhir Amang Pong tidak fokus lagi dalam merawat kebun porangnya. Sehingga kuantitas panen seret.
Di satu sisi, Amang Pong juga merelakan sebagian dari bibit porangnya untuk diberikan pada petani lain. Dan itu gratis!
Salut saya untuk Amang Pong. Itu artinya ia mencerminkan moral ekonomi petani (meminjam istilah James Scott) --sebuah sikap yang meletakkan urusan ekonomi di bawah urusan sosial.
Penjualan dan/atau pemasaran
Untuk sementara ini, umbi porang milik petani masih dijual dalam bentuk mentah kepada pengepul dengan harga yang sudah ditentukan.
Kisaran perkilo Rp 7000 untuk umbi porang. Kalau pergi jual sendiri ke kota barangkali harganya di atas itu.
Lebih daripada itu, adalah nyata bahwa nadi ekonomi petani Wangkung masih bisa berdenyut seiring harga jual porang kembali bergairah.
Kiranya, di tahun baru nanti, porang menyala terus e!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H