Menjadi guru merangkap petani di desa merupakan salah satu keputusan terbaik yang pernah diambil oleh Bapak selama hidupnya.
Terbaik, karena selain memperoleh hasil yang nyata dan memuaskan tentu saja, juga pilihannya itu dirasa sangat logic mengingat aktivitas pertanian sangat mungkin dilakukan di pedesaan.
Ya. Selain atas dasar pertimbangan lahan bercocok tanam yang luas, juga kondisi tanah subur berikut iklim dan/atau cuaca yang bersahabat.
Selama beliau masih aktif mengajar di sekolah dasar, Bapak memanfaatkan sebagian dari uang gajinya untuk membeli berpulu-puluh tanah di desa. Selain itu, beliau juga membeli satu dua petak sawah dari warga sekitar.
Sepulang mengajar dari sekolah dulunya, Bapak begitu rutin melawat ke sejumlah kebun miliknya. Dan dalam hal mengurusi tanah sebanyak itu, beliau tidak sendirian tentu saja, karena ada beberapa buruh tani di desa yang siap untuk membantu dengan imbalan upah.
Lebih lanjut, pada tanah-tanah hasil pembelian tersebut, beliau tanami aneka jenis tanaman industri, seperti cengkeh, kopi, fanili, dan baru-baru ini porang.
Tak hanya itu, beliau juga urun menanam tanaman hortikultura, palawija dan buah-buahan seperti salak, durian, rambutan, nanas, dlsb. Walau masih dikembangkan dalam skala kecil di pekarangan rumah misalnya.
100 persen Guru, 100 persen Petani
Selama hidupnya hingga pensiun kini, Bapak punya semboyan 100 persen Guru 100 persen Petani.
Semboyan beliau itu, saya kira, terinspirasi dari semboyan Mgr. Soegijapranata [alm], yakni "100 persen Katolik dan 100 persen Indonesia. Kendati selama ini beliau tak pernah mengatakannya dengan tegas. Hehehe
Namun, bagi Bapak, semboyan itu beliau manifestasikan dalam tindakan. Hal tersebut dilihat dari ethos kerja tinggi yang beliau tonjolkan selama hidupnya.
Guru separuh hati petani ada dalam satu tarikan nafas. Keduanya sama-sama dijadikan proporsi penting dan diseriusi oleh beliau.
Begitu juga, misanya, dalam setiap diskusi-diskusi kecil bersama kami anak-anaknya, beliau selalu 'menguliahi' kami soal pentingnya nyambi usaha tani di desa. Intinya, ya, tidak perlu gengsi.
Menanam di Pekarangan Rumah
Meski kini Bapak sudah pensiun seraya tak kuat lagi menyambang ke kebun, beliau tetap berkegiatan fisik dengan memanfaatkan pekarangan rumah untuk menanam aneka jenis sayuran, cabe kriting, tomat, jagung, jeruk nipis, tanaman herbal, dlsb.
Segmentasinya memang tidak untuk dijual melainkan sekadar dikonsumsi sendiri. Ya. Kalau bisa ditanam sendiri, kenapa harus beli? Kira-kira begitulah. Hehehe
Salam kopce, sobat!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H