Kemiskinan itu persoalan pelik, sehingga siapapun tidak akan tertarik membicarakannya. Makanya, kebanyakan orang di luar sana cendrung getol mengomentari polemik seputar selangkangan ketimbang mendiskusikan ketimpangan. Ini fakta.
Namun, lebih daripada itu, pengentasan kemiskinan seyogianya menjadi tugas kita semua tanpa terkecuali. Sehingga, bolehlah kita berasumsi bahwa problem kemiskinan bukanlah artefak di masa lampau, melainkan masih kontekstual, relevan dibicarakan, dan membumi hingga saat ini.
Membenci Kemiskinan
Menurut sejarah, kemiskinan muncul sebagai masalah sosial seiring dengan berkembangnya perdagangan ke seluruh dunia, dan ketika ditetapkannya taraf kehidupan tertentu sebagai suatu kebiasaan masyarakat (mengutip Sosiologi Suatu Pengantar, hal 322).
Kemiskinan dianggap sebagai masalah sosial apabila kedudukan ekonomis para warga masyarakat ditentukan secara tegas. Semisal, adanya golongan kaya dan miskin.
Pada masyarakat tani yang tinggal di pedesaan, mungkin kemiskinan bukan merupakan masalah sosial karena mereka menganggap semuanya sudah ditakdirkan sehingga tidak ada usaha-usaha untuk mengatasinya.
Situasi di mana mereka tidak akan terlalu memperhatikan keadaan tersebut, kecuali apabila mereka betul-betul menderita karenanya.
Adapun picu yang menyebabkan mereka membenci kemiskinan adalah karena timbul sebuah kesadaran bahwa, mereka telah gagal untuk memperoleh lebih dari apa yang telah dimilikinya berikut perasaan "sengaja dimiskinkan" dan seabrek ketidakadilan lainnya.
Dalam konteks ketidakadilan itu misalnya, petani dipengaruhi oleh ekonomi pasar (kapitalisme) dan menjadi subordinasi, tanahnya diserobot oleh korporasi, menjadi objek politik dari pemerintah, pihak luar, dlsb.
Situasi berbeda terjadi di tengah masyarakat moderen yang rumit dengan pelbagai praksis kehidupan yang kompleks. Kemiskinan, menurut mereka, menjadi masalah sosial karena adanya sikap dan/atau kesadaran umum yang membenci kemiskinan tadi.
Seseorang bukan merasa miskin karena kurang makan, pakaian atau tidak memiliki tempat tinggal, tetapi karena harta miliknya dirasa tidak cukup untuk memenuhi taraf kehidupan yang ada di kota.
Hal ini kita bisa lihat dari kehidupan masyarakat di kota-kota besar di Indonesia, sebut saja misalnya di Jakarta.
Di mana seseorang dianggap miskin karena tidak memiliki handphone, sepada motor, mobil, dlsb. Sehingga, lama-kelamaan benda-benda sekunder tersebut dijadikan ukuran bagi keadaan sosial-ekonomi seseorang, yakni apakah orang itu miskin atau kaya.
Dari kasus-kasus seperti itu, persoalannya mungkin menjadi lain yaitu tidak adanya pembagian kekayaan yang merata. Ini untuk diskursus kemiskinan di reksa wilayah perkotaan.
Tak hanya berhenti di situ, persoalan menjadi lain bagi mereka yang turut dalam arus urbanisasi. Sebab, bagi kelompok perantau ini, pokok kemiskinan terjadi karena ketidakmampuan memenuhi kebutuhan primer sehingga timbullah tunakarya, tunasusila, dlsb.
Karena biar bagaimana pun, kota seringkali digambarkan dengan kesejahteraan, dikisahkan dengan hidup bahagia. Tapi, siapa nyana, kota adalah sebuah gelanggang pertarungan hidup yang amat keras.
Kota adalah pemanggungan sosial, di mana yang kaya akan semakin kaya dan yang lemah, miskin akan makin terhimpit atau lebih sadisnya lagi bakal mati kutu.
Namun, lebih daripada itu, banyak orang yang pada akhirnya punya kehidupan yang lebih baik setelah memutuskan untuk bekerja di perantauan. Meski ada juga yang bernasib sial karena tidak diterima bekerja sehingga memunculkan perasaan benci pada kemiskinan.
Wasana kata
Keseluruhan daripada isi tulisan ini merupakan jawaban daripada amatan sosial sepihak dan selebihnya obrolan ide.
Dikatakan obrolan ide, karena ada begitu banyak persepsi, kongsi, argumentasi menyoal permasalahan kemiskinan. Dan tulisan ini tidak untuk menutup adanya kemungkinan dan/atau ide mengenai kebenaran lain di luar itu.
Sehingga, silakan pembaca budiman sekalian secara sukarela berkesimpulan. Tersebab di sini saya hanya mencoba untuk secara sepihak menelaah dinamika kemiskinan yang terjadi di tengah masyarakat kita.(*)
Salam Cengkeh & Kopce☕
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H