Ya, tentu saja beberapa pulau di provinsi NTT yang notabene paling dekat ke benua Australia akan menjadi rute yang pertama kali dilewati oleh angin yang bersifat kering tersebut.
Sebagai konsekuensinya, musim kemarau akan dimulai dari April hingga Oktober. Sebaliknya, hujan baru bisa turun di NTT sekitar bulan Oktober hingga akhir Maret. Itupun selama periode enam bulan itu hujan tidak turun secara intens.
Dan memang lazimnya pranata mangsa pertanian di NTT dicocokkan dengan perhitungan musim hujan tersebut. Istilahnya biar tidak "ketinggalan kereta" dan tentu saja sebagai langkah mitigasi gagal tanam, gagal panen serta darurat pangan.
Berbicara soal darurat pangan misalnya, laporan Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa provinsi NTT pada tahun 2013 mengindikasikan 51,73 persen anak-balita mengalami kondisi stunting/kurang gizi.
Hal ini masih setali tiga uang dengan kelangkaan air bersih dan sanitasi yang rendah, sehingga menyebabkan NTT tergolong sebagai provinsi termiskin di Indonesia setelah provinsi Papua dan Papua Barat.
Kalau tak salah ingat, persoalan kemiskinan di NTT sudah sempat saya ulas juga di sini beberapa bulan yang lalu.
Baca juga: NTT (Masih) Menjadi Provinsi Termiskin Setelah..
Lebih lanjut, seabrek persoalan miris yang belakangan ini terjadi di NTT tersebut, hemat saya, bertalian antarsatu dengan yang lainnya. Lantaran, perkara kemiskinan dan kelaparan satu tarikan nafas dengan problem gagal panen dan kisutnya produktivitas hasil pertanian di NTT.
Ya, betul. Ihwal pertanian merupakan soko guru perekonomian masyarakat NTT. Kita berharap banyak darinya. Tentu saja.
Sebagai solusi, tentu saja pertama kita perlu peka membaca arah mata angin berikut melek dalam membaca perubahan cuaca. Guna disesuaikan dengan masa bercocok tanam.
Kedua, bekerja sama dengan pemerintah dan dinas terkait untuk mendapatkan benih (padi) atau bibit tanaman perkebunan yang bermutu baik. Tak lain agar produktivitas hasil pertanian di pedesaan bisa ditingkatkan.