Jika fatamorgana yang diidap dari tempurung ruang hidup rakyat Amerika adalah bermimpi egalite tanpa rasisme, orang NTT justru berharap agar musim kemarau dan ancaman kekeringan tidak berkonspirasi mencekik leher.
Pada faktanya memang kemarau dan ancaman kekeringan selalu menjadi problem serius di NTT. Menjadi problem karena ada jarak yang sangat jomplang antara harapan dengan kenyataan.
Namun, bukan orang NTT namanya bila tidak menjadikan 'problematika' sebagai medium pembelajaran. Problem bukanlah pemicu paranoia, justru sebaliknya, hidup bersahabat dengan kekeringan.
Kekeringan akut yang terjadi setiap tahun di sebagian besar wilayah NTT, pada dasarnya hadir sebagai sebuah interupsi (untuk menyebut peringatan) agar mereka bersama-sama mencari-cari cara untuk ke luar dari lingkaran setan ancaman kekeringan.
Dan terbukti, jawaban rakyat NTT yang paling menonjol dalam menyikapi situasi batas itu ialah lewat pembuatan embung dan sumur secara mandiri. Dan baru-baru ini sudah ada 3 bendungan yang dibangun lewat program inisiatif pemerintah pusat.
Tentu saja ketika armada swasembada air itu sudah tersedia, maka langkah selanjutnya adalah bagaimana usaha konkret dari segenap elemen masyarakat dalam memanajemen pengelolaan air agar efisien dan berkelanjutan.
Tujuannya survive. Apalagi hal satu itu bersentuhan langsung dengan hajat hidup banyak orang.
NTT (Nusa Tandus Terlama)
Berbeda dengan tulisan sebelumnya, tulisan ini lebih menyoroti problem eksternal di balik kekeringan akut yang sudah menjadi penyakit menahun di reksa wilayah NTT.
Dan memang, saya kira, julukan NTT sebagai Nusa Tandus Terlama sangat relevan mengingat wilayah satu ini rawan kemarau dan/atau curah hujan rendah. Berbeda dengan wilayah lain di Indonesia yang secara geografi fisik (baca: cuaca dan iklim) berbeda.
Saya kira, picu yang menyebabkan terjadinya kemarau panjang di sini tidak hadir sebagai motif tunggal. Melainkan ada faktor lain yang disebabkan juga oleh Angin Muson Timur yang bertiup dari benua Australia ke benua Asia. [Melansir dari Kompas.com]
Ya, tentu saja beberapa pulau di provinsi NTT yang notabene paling dekat ke benua Australia akan menjadi rute yang pertama kali dilewati oleh angin yang bersifat kering tersebut.
Sebagai konsekuensinya, musim kemarau akan dimulai dari April hingga Oktober. Sebaliknya, hujan baru bisa turun di NTT sekitar bulan Oktober hingga akhir Maret. Itupun selama periode enam bulan itu hujan tidak turun secara intens.
Dan memang lazimnya pranata mangsa pertanian di NTT dicocokkan dengan perhitungan musim hujan tersebut. Istilahnya biar tidak "ketinggalan kereta" dan tentu saja sebagai langkah mitigasi gagal tanam, gagal panen serta darurat pangan.
Berbicara soal darurat pangan misalnya, laporan Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa provinsi NTT pada tahun 2013 mengindikasikan 51,73 persen anak-balita mengalami kondisi stunting/kurang gizi.
Hal ini masih setali tiga uang dengan kelangkaan air bersih dan sanitasi yang rendah, sehingga menyebabkan NTT tergolong sebagai provinsi termiskin di Indonesia setelah provinsi Papua dan Papua Barat.
Kalau tak salah ingat, persoalan kemiskinan di NTT sudah sempat saya ulas juga di sini beberapa bulan yang lalu.
Baca juga: NTT (Masih) Menjadi Provinsi Termiskin Setelah..
Lebih lanjut, seabrek persoalan miris yang belakangan ini terjadi di NTT tersebut, hemat saya, bertalian antarsatu dengan yang lainnya. Lantaran, perkara kemiskinan dan kelaparan satu tarikan nafas dengan problem gagal panen dan kisutnya produktivitas hasil pertanian di NTT.
Ya, betul. Ihwal pertanian merupakan soko guru perekonomian masyarakat NTT. Kita berharap banyak darinya. Tentu saja.
Sebagai solusi, tentu saja pertama kita perlu peka membaca arah mata angin berikut melek dalam membaca perubahan cuaca. Guna disesuaikan dengan masa bercocok tanam.
Kedua, bekerja sama dengan pemerintah dan dinas terkait untuk mendapatkan benih (padi) atau bibit tanaman perkebunan yang bermutu baik. Tak lain agar produktivitas hasil pertanian di pedesaan bisa ditingkatkan.
Ketiga, tetap berusaha dan solid (pengejawantahan moral petani) meskipun di tengah situasi batas. Ingat, kita perlu meniru semangat para leluhur kita yang mampu memberi kita makan dari tanah tandus dan gersang.(*)
Semoga bermanfaat!
Salam Cengkeh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H