Kini, harga cengkeh di beberapa wilayah/kota di Indonesia mulai ada tanda-tanda membaik. Persisnya perubahan harga ini terjadi jelang musim panen cengkeh yang akan dimulai sekitar Juni atau Juli mendatang.
Di Labuan Bajo sendiri, harga cengkeh sudah merangkak naik dari Rp53.000,00 ke Rp60.000,00. Setidaknya, sedikit membaik dari harga bulan Januari--Maret kemarin.
Di tengah euforia harga cengkeh yang mulai membaik di bulan April ini, serumpun petani cengkeh di Labuan Bajo berharap semoga kelak harga cengkeh kering bisa tembus ke Rp100.000,00 per kg. Syukur-syukur bisa lebih dari itu.
Saya pikir, tidak ada yang salah dengan apa yang menjadi harapan petani cengkeh ini. Lantaran, ada kecendrungan harga cengkeh yang terjungkal selama ini impas dengan biaya produksi. Petani merugi tentu saja dan bahkan tidak mampu lagi mengupah buruh petik cengkeh.
Di Labuan Bajo, upah harian per buruh petik adalah Rp80.000,00. Itu belum termasuk biaya makan minum, rokok dan transport. Yang jika dikalkulasikan per orangnya bisa Rp110.000,00.
Dari hitung-hitungan itu, misalnya sehari kita mengupah 10 orang buruh, tinggal dikalikan saja berapa pengeluaran hanya untuk mengupah buruh. Sementara pemetikan cengkeh biasanya berlangsung berbulan-bulan.
Bonyoklah petani cengkeh apabila pengeluaran semasa panen yang besar itu tidak diimbangi (impas) dengan harga jual produk cengkeh kering di pasaran.
Belum lagi, misalnya, berbicara tentang sistem pengupahan buruh petik di tempat lain. Yang konon, lebih mahal lagi dari kami petani cengkeh di Labuan Bajo.
Bertolak dari hal itu, sebagai upaya menyiasati besarnya pengeluaran semasa panen, petani lebih memilih untuk membiarkan beberapa pohon cengkehnya untuk tidak dipetik. Ada banyak kejadian seperti ini saya pikir.
Baca juga: Ini 4 Tanaman Tumpang Sari yang Bisa Ditanami di Sela-sela Pohon Cengkeh
Meski demikian, dari laman facebook Kementan beberapa hari yang lalu saya menemukan sebuah infografis tentang ekspor rempah-rempah ke luar negeri. Salah satunya adalah cengkeh.