Mohon tunggu...
Guıɖo Arısso
Guıɖo Arısso Mohon Tunggu... Insinyur - ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Profesi Petani Diprediksi Akan Hilang pada 2063?

29 Maret 2021   21:15 Diperbarui: 30 Maret 2021   07:53 1282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru-baru ini Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) mengeluarkan sebuah prediksi yang cukup mengejutkan.

Bappenas menyebutkan, bahwa di tahun 2063 tidak ada lagi orang yang menggeluti profesi petani. Atau dengan kata lain, tidak ada lagi petani di Indonesia.

Tapi ya, yang namanya prediksi, toh sifatnya masih meraba-raba dalam gelap. Namun, saya kira, prediksi tersebut bisa saja terjadi bila tolak ukurnya jelas dan bisa dipertanggung jawabkan secara akademik. Biar tidak meledek kewarasan publik. Tentu saja.

Lebih lanjut, masih menurut Bappenas, ada beberapa indikator yang menjadi picu dikeluarkannya prediksi tersebut, yakni;

1) Masyarakat lebih berminat bekerja di sektor non-farm seperti sektor jasa dan industri ketimbang menjadi petani

Klaim ini kemudian diperkuat dengan data Bappenas yang menyebutkan, jumlah pekerja di sektor jasa mengalami kenaikan dari 23,6 persen tahun 1976 menjadi 48,9 persen pada tahun 2019. Begitu pun jumlah pekerja di sektor industri, dari 8,9 persen di tahun 1976 naik menjadi 22,5 persen tahun 2019.

2) Konversi/Alih fungsi lahan

Dalam waktu 6 tahun saja, luas lahan pertanian menyusut sampai 300 ribu hektar. Adapun penyebab lainnya adalah disebabkan oleh urbanisasi, alih profesi, penyusutan lahan pertanian dan seterusnya.

Rasio pekerja pertanian yang bekerja di sektor pertanian 65,8 presen pada tahun 1976, namun pada tahun 2019 rasio ini hanya tinggal 28 persen saja.

Menurut mereka, kedua alasan di atas merupakan penyebab yang paling dasariah sehingga ketiadaan profesi petani di tahun 2063 sangat mungkin terjadi.

***

Tulisan ini juga menjadi dasar epistemologis, komentar dan pilihan sikap kita dalam melihat seperti apa masa depan petani di tanah air. Pun sekaligus hadir sebagai bahan diskursus sarat reflektif atas pertanyaan apakah betul kita kehilangan profesi petani di tahun 2063?

Pada dasarnya, jika membaca dan menimbang data Bappenas di atas (berikut prediksinya), tentu saja saya dan mungkin Anda tidak akan punya alasan kuat untuk membantah. Toh, ada benarnya juga dan pada waktunya bisa saja terjadi, bukan?

Sebagai konsituen yang turut merasakan seraya ikut mengamati fenomena menurunnya peminat/pekerja di sektor pertanian ini, saya hanya ingin memberikan sedikit komentar dan tentu saja solusi. Sekiranya bermanfaat bagi pertanian kita di masa depan.

Hemat saya, hal satu ini perlu dipikirkan bersama ihwal petani merupakan profesi mulia dan sektor pertanian merupakan sektor yang paling vital karena bersentuhan langsung dengan hajat hidup banyak orang.

Begini. Jika disebutkan oleh Bappenas, bahwa urbanisasi merupakan salah satu picu menurunnya jumlah pekerja di sektor pertanian, saya pikir, benar adanya. Mengingat, banyak anak muda kini merantau dari desa ke kota. Mereka meninggalkan desa tentu saja didasari oleh keinginan dan semangat survival mengubah nasib ke arah yang lebih baik.

Anak-anak muda petani di desa merantau ke kota karena terdorong untuk keluar dari masalah ekonomi dan/atau latar belakang keluarga mereka yang tidak mampu. Dan lagi-lagi, karena usaha di sektor pertanian tidak lagi memberi mereka harapan.

Sebagai profesi alternatif, pertanian di desa mulai ditinggalkan, karena tidak survive lagi. Yang ada di desa kini tinggal kaum bapak dan ibu-ibu hingga kakek-nenek yang sudah uzur dan tidak kuat lagi untuk bekerja dan menggarap lahan.

Sebagai konsekuensinya, setelah anak-anak muda ini pergi, banyak lahan garapan yang tidak terurus. Produktivitas pertanian di pedesaan pun menurun. Sumber pendapatan keluarga di kampung pun kini bermuara dari hasil kerja anak di tanah rantauan itu.

Tersebab, kota yang menjadi tujuan merantau seringkali digambarkan dengan kesejahteraan, acapkali dikisahkan dengan hidup bahagia. Tapi siapa sangka, kota adalah sebuah medan pertarungan hidup yang amat keras.

Itu yang pertama. Yang kedua adalah konversi/alih fungsi lahan.

Bappenas dalam hal ini benar lagi. Adalah sebuah fakta, di mana sebelum merantau ada orangtua yang memilih menjual tanah miliknya atau menyewa ke pihak lain untuk tujuan non-farm, misalnya.

Hal itu orangtua lakukan karena selain mereka tak kuat lagi bekerja, juga karena tanah mereka tak mampu diandalkan lagi. Tidak bisa diandalkan karena pelbagai masalah penyerta di baliknya, seperti persoalan irigasi, kelangkaan pupuk, tidak punya modal bertani hingga harga jual produk pertanian yang tidak lagi menguntungkan.

Tak ayal, dalam kondisi itu, hasrat menjual tanah sudah di depan mata. Entahlah, hasil dari penjualan tanah ini digunakan untuk memenuhi keperluan keluarga di kampung atau (sebagiannya lagi) digunakan untuk biaya hidup anak di tanah perantauan, misalnya.

Di kampung, lahan-lahan garapan di gadai untuk mengadu nasib yang lebih baik di kota. Betapa semangat para perantau ini berjuang demi menghidupi sanak keluarga. Dan hal itu tidak ada yang salah memang ihwal tujuannya survive!

Dan pada prinsipnya, bahwa merantau selalu dikaitkan dengan kesuksesan. Banyak orang yang pada akhirnya punya kehidupan yang lebih baik setelah memutuskan untuk merantau. Meski ada juga yang bernasib sial dan kurang beruntung.

Kini, yang terjadi adalah lahan perkebunan di desa tidak lagi terawat, persawahan kini kering, dan produktivitas pertanian menurun setiap tahunnya.

Merantau (atau diistilahkan urbanisasi) sesekini menjadi budaya tersendiri dan turut serta membentuk pola pikir dan cara pandang kaum muda. Mereka juga berpikir bahwa menjadi petani adalah profesi picisan (bahkan aib), karena tidak banyak menolong mereka.

Dan sebagai solusi, saya kira, pemerintah beserta elemen terkait perlu melakukan beberapa hal berikut ini, sebagai upaya melepaskan keraguan kita akan hilangnya generasi petani di masa depan, tahun 2063.

Pertama. Jadikan petani sebagai profesi yang memikat kaum muda. Caranya?
Sinergikan Kementerian Pertanian dan Kementerian Riset dan Teknologi dalam membantu petani dalam menciptakan/mempabrikasi alat-alat pertanian berikut diimbangi sistem pertanian modern sehingga banyak masyarakat (terkhusus kaum muda) yang tertarik bekerja di sektor pertanian.

Kedua. Menciptakan iklim pasar yang sehat. Salah satu caranya lewat kebijakan penentuan standarisasi harga jual komoditas pertanian di pasaran. Biar clear dan supaya tengkulak/pengusaha tidak sembarangan menentukan harga.

Ketiga. Mempermudah akses pupuk bersubsidi bagi petani, memperdayakan para petani lewat penyuluhan pertanian dan seterusnya.

Saya kira, jika hal-hal seperti ini (yang dalam amatan saya sebagai resolusi besar-besaran) dilakukan oleh pemerintah, niscaya sektor pertanian kita akan hidup 1000 tahun lagi.

Dan yang paling penting adalah di tahun 2063 itu makanan pokok kita masih tetap nasi dan bukan batu atau paku.(*)

Semoga bermanfaat!

Salam Cengkeh

Bacaan:

Kompas.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun