Tulisan ini juga menjadi dasar epistemologis, komentar dan pilihan sikap kita dalam melihat seperti apa masa depan petani di tanah air. Pun sekaligus hadir sebagai bahan diskursus sarat reflektif atas pertanyaan apakah betul kita kehilangan profesi petani di tahun 2063?
Pada dasarnya, jika membaca dan menimbang data Bappenas di atas (berikut prediksinya), tentu saja saya dan mungkin Anda tidak akan punya alasan kuat untuk membantah. Toh, ada benarnya juga dan pada waktunya bisa saja terjadi, bukan?
Sebagai konsituen yang turut merasakan seraya ikut mengamati fenomena menurunnya peminat/pekerja di sektor pertanian ini, saya hanya ingin memberikan sedikit komentar dan tentu saja solusi. Sekiranya bermanfaat bagi pertanian kita di masa depan.
Hemat saya, hal satu ini perlu dipikirkan bersama ihwal petani merupakan profesi mulia dan sektor pertanian merupakan sektor yang paling vital karena bersentuhan langsung dengan hajat hidup banyak orang.
Begini. Jika disebutkan oleh Bappenas, bahwa urbanisasi merupakan salah satu picu menurunnya jumlah pekerja di sektor pertanian, saya pikir, benar adanya. Mengingat, banyak anak muda kini merantau dari desa ke kota. Mereka meninggalkan desa tentu saja didasari oleh keinginan dan semangat survival mengubah nasib ke arah yang lebih baik.
Anak-anak muda petani di desa merantau ke kota karena terdorong untuk keluar dari masalah ekonomi dan/atau latar belakang keluarga mereka yang tidak mampu. Dan lagi-lagi, karena usaha di sektor pertanian tidak lagi memberi mereka harapan.
Sebagai profesi alternatif, pertanian di desa mulai ditinggalkan, karena tidak survive lagi. Yang ada di desa kini tinggal kaum bapak dan ibu-ibu hingga kakek-nenek yang sudah uzur dan tidak kuat lagi untuk bekerja dan menggarap lahan.
Sebagai konsekuensinya, setelah anak-anak muda ini pergi, banyak lahan garapan yang tidak terurus. Produktivitas pertanian di pedesaan pun menurun. Sumber pendapatan keluarga di kampung pun kini bermuara dari hasil kerja anak di tanah rantauan itu.
Tersebab, kota yang menjadi tujuan merantau seringkali digambarkan dengan kesejahteraan, acapkali dikisahkan dengan hidup bahagia. Tapi siapa sangka, kota adalah sebuah medan pertarungan hidup yang amat keras.
Itu yang pertama. Yang kedua adalah konversi/alih fungsi lahan.
Bappenas dalam hal ini benar lagi. Adalah sebuah fakta, di mana sebelum merantau ada orangtua yang memilih menjual tanah miliknya atau menyewa ke pihak lain untuk tujuan non-farm, misalnya.