Dulu, zaman bapak kalen menikah itu, mas kawin--atau kita di Manggarai menyebutnya belis, dimaknai sebagai sesuatu yang holistis. Tapi, kini belis justru menjadi paradoks.
Di mana belis lebih dilihat sebagai salah satu bagian dan lebih berorientasi pada rupiah.
Saya juga enggan menyebut belis sebagai kegiatan bisnis, atau lebih sadisnya lagi, praktik jual-beli. Itu adalah ungkapan merendahkan dan meledek kewarasan.
Tulisan ini juga tidak bertujuan untuk mempersoalkan dan/atau mendebatkan paradoks belis. Tersebab, akan sia-sia saja dan melelahkan.
Atau biarkan hal itu menjadi tugas para tetua di dalam gendang (rumah adat), dan kita yang muda cukup minum kopi sambil menguping dari luar jendela.
Mari kita kilas balik seperti apa pemaknaan belis bagi masyarakat Manggarai tempo doloe, kawan. Di sini juga, saya akan mengambil contoh kecil mengenai diskursus belis masyarakat di desa saya. Ya, sebagai pembanding saja.
Begini. Di desa saya dulunya, jika ada pasangan muda yang hendak menikah, maka mempelai pria kelak akan menerima jatah sebidang tanah dari sang mertua--pihak perempuan.
Hal tersebut memang bukanlah sebuah kewajiban dan/atau kosekuensi dalam pernikahan adat, melainkan sebagai bentuk nuk agu momang (kasih dan sayang) seorang ayah pada anak gadisnya yang akan dipinang dan kelak tinggal jauh mengikuti sang suami/keluarga besar pria.
Namun demikian, dalam praktik pemberian belis, pihak laki-lakilah yang justru wajib hukumnya memberikan mas kawin pada pihak perempuan. Takada tawar menawar dalam ranah ini. Risiko adatnya memang begitu.
Perlu diketahui juga, bahwa belis lebih dimaknai sebagai simbol terima kasih pada mertua karena dia sudah merawat putrinya dengan baik. Selebihnya, belis dimaknai sebagai wujud pemberian berdasarkan kelebihan. Tidak pula direduksi ke dalam bentuk uang dan emas. Ihwal sejatinya belis itu bersifat holistis
Bertolak dari diskursus (ala Foucault) belis di atas, maka bukan sesuatu yang aneh lagi, bila zaman bapak kalen menikah itu, mas kawin bukanlah sesuatu yang memberatkan.
Ya, tersebab mereka tidak dibebani oleh angka mahar. Generasi mereka hampir tak pernah mengalami apa yang dinamakan dengan keringat dingin dan dengkul bergetar gegara dimintai mahar nikah yang besarannya nadzubillah. Tidak.
Bahkan hingga paca (akad nikah) pun, atau menjelang hari H, pihak laki-laki cuma diminta untuk menyanggupi sebisanya saja. Dalam hal ini, tidak ada unsur koersif (paksaan).
Ya, kalau bahasa warung kopinya "5 juta, okelah. Plus 1 ekor kerbau. Sudah, kita nikahkan saja anak kita. Gak pake ribet".
Yang ingin disampaikan di sini adalah, pernikahan tidak boleh dimaknai sebagai sesuatu yang memberatkan, apalagi sampai menyiksa diri dan batin. Menikahlah untuk bahagia
Sebagaimana kita ketahui juga, bahwa bagi masyarakat Manggarai, pernikahan adalah sesuatu yang sifatnya sakral. Sakral, karena pernikahan bukan sekadar urusan dua orang, tapi lebih dari itu, pernikahan melibatkan dua kelurga besar, dan tak pelak, mengambil sumpah setia di hadapan Allah.
Memang tak dimungkiri bila menikah butuh usaha dan pengorbanan yang cukup. Menikah juga butuh persiapan matang. Tapi, yang tidak boleh kita lupakan, bahwa menikah jangan sampai memberatkan calon suami dan keluarganya.
Saya pikir, diskurtif dan makna konstruktif dari belis adalah hal itu. Sejati-jatinya pemberian belis tidak untuk mendorong seseorang 'berjudi dalam angka', alias nggak pake ribet!
Jadi, mari kita dalami lagi apa itu mas kawin/belis(?) dan makna di balik pemberiannya. Terima kasih. Tabe Momang.(*)
(Retret menulis cukup sehari aja, nggak usah pake lama).
Salam Cengkeh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H