Ya, tersebab mereka tidak dibebani oleh angka mahar. Generasi mereka hampir tak pernah mengalami apa yang dinamakan dengan keringat dingin dan dengkul bergetar gegara dimintai mahar nikah yang besarannya nadzubillah. Tidak.
Bahkan hingga paca (akad nikah) pun, atau menjelang hari H, pihak laki-laki cuma diminta untuk menyanggupi sebisanya saja. Dalam hal ini, tidak ada unsur koersif (paksaan).
Ya, kalau bahasa warung kopinya "5 juta, okelah. Plus 1 ekor kerbau. Sudah, kita nikahkan saja anak kita. Gak pake ribet".
Yang ingin disampaikan di sini adalah, pernikahan tidak boleh dimaknai sebagai sesuatu yang memberatkan, apalagi sampai menyiksa diri dan batin. Menikahlah untuk bahagia
Sebagaimana kita ketahui juga, bahwa bagi masyarakat Manggarai, pernikahan adalah sesuatu yang sifatnya sakral. Sakral, karena pernikahan bukan sekadar urusan dua orang, tapi lebih dari itu, pernikahan melibatkan dua kelurga besar, dan tak pelak, mengambil sumpah setia di hadapan Allah.
Memang tak dimungkiri bila menikah butuh usaha dan pengorbanan yang cukup. Menikah juga butuh persiapan matang. Tapi, yang tidak boleh kita lupakan, bahwa menikah jangan sampai memberatkan calon suami dan keluarganya.
Saya pikir, diskurtif dan makna konstruktif dari belis adalah hal itu. Sejati-jatinya pemberian belis tidak untuk mendorong seseorang 'berjudi dalam angka', alias nggak pake ribet!
Jadi, mari kita dalami lagi apa itu mas kawin/belis(?) dan makna di balik pemberiannya. Terima kasih. Tabe Momang.(*)
(Retret menulis cukup sehari aja, nggak usah pake lama).
Salam Cengkeh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H