Sekali lagi, meski orang Flobamora secara adat dan/atau sub-suku berbeda, tapi kami sama-sama berpandangan bahwa adat merupakan warisan leluhur yang harus dijaga bersama--selain merawat nilai kepurbaannya.
Maka dalam pelaksanaannya, kedudukan adat-istiadat tidak dipandang sebagai artefak/fosil masa lampau, melainkan masih kontekstual, relevan dan membumi hingga kini (dan bahkan untuk seterusnya).
Sehingga tak ayal, dengan mudahnya kita akan menjumpai banyak komunitas adat yang sampai saat ini masih menjunjung tinggi nilai-nilai berbasis kearifan lokal di bumi Flobamora.
2. Bahasa
Hal menarik lainnya adalah soal penggunaan bahasa daerah keseharian orang Flobamora.
Misal, meski tinggal di pulau yang sama, bahasa/dialek keseharian yang saya pakai di Manggarai berbeda dengan di tempat Kae Roman Daruarsa di Ende (kalau tidak salah beliau memakai bahasa Ende-Lio).
3. Kain Tenun
Sebagaimana NTT adalah salah satu provinsi yang dikenal juga sebagai daerah penghasil kain tenun. Ya, motif kain tenunannya banyak. Belum lagi bila kita berbicara soal coraknya yang bermacam-macam.
Ada songke Manggarai, tenun Ende-Lio, tenun Ikat Alor, tenun khas Sumba, dan masih banyak lagi.
Hampir semua kain tenun ini dirajut menggunakan tangan dan merupakan simbol pengetahuan mama-mama Flobamora. Pembuatannya juga tidaklah gampang dan memerlukan waktu yang berminggu-minggu untuk menghasilkan satu bilah kain.
4. Pariwisata
Diskursus baiknya, Flobamora tak hanya dikenal sebagai provinsi yang terdiri dari gugusan pulau, melainkan mendapat julukan potongan surga yang jatuh ke bumi.