Let's began with philosophy. Tersebab segala hal pasti bersentuhan dengan filsafat. Tak terkecuali perihal pertanian, misalnya.
Berbicara tentang relevansi filsafat dan pertanian, saya pikir, beberapa filsuf sudah pernah memfitrah hingga mengaktualisasikannya dalam kehidupan mereka sendiri. Berapa filsuf itu antara lain Hesiodos dan Masanobu Fukuoka.
Hesiodos adalah seorang penyair sekaligus filsuf Yunani kuno. Di dalam beberapa puisi dan prosanya, ia menuliskan pentingnya manusia bekerja.
Seperti yang pernah ia tuliskan dalam puisi yang berjudul 'Kerja dan Hari'. Setidaknya, saya sudah pernah membahasnya dalam artikel ini (klik untuk baca).
Berikut adalah Masanobu Fukuoka, seorang petani dan filsuf asal Jepang. Fukuoka juga disebut sebagai Bapak Tani Alami.
Fukuoka menyebutkan, tani alami adalah filsafat yang hidup dan menghidupi, dari menguasai ke melayani alam. Selebihnya, muara akhir dari aktivitas pertanian adalah kesempuran hidup manusia dengan alam.
Ada pula pernyataannya yang sarat filosofis. Yakni, jalani usaha pertanian itu secara fleksibel, biarkan tanah dan serangga bekerja untuk kita.
Konsep tani alami ala Fukuoka ini tidak hanya berhenti pada tataran paradigma, tapi lebih daripada itu, dia mekongkritkannya dalam usahanya bertani. Dan terbukti, tani alami itu bekerja dengan baik dan memperoleh hasil memuaskan.
Pada dasarnya, gagasan "provokatif" pertanian alami ala Fukuoka itu sesekini sudah direplikasi di banyak negara. Ihwal tani alami punya segmen berkelanjutan dan selaras dengan alam.
Terkecuali, mungkin, konsep tani alami ini tidak sepenuhnya bisa diadaptasi di beberapa tempat yang secara topografi beda. Terkhusus, pada lahan kering, misalnya.
Tersebab cara kerja pada pertanian lahan kering berbeda dengan lahan basah, dan pertanian lahan kering sangat membutuhkan sentuhan lebih dari manusia. Misalnya saja dengan pemberian pupuk untuk membantu menyuburkan tanah.
Baca juga: Bertani Sambil Berfilsafat
Lebih lanjut, di dalam beberapa kebudayaan, akan didapati ragam bentuk ritual agraris yang sifatnya esensial. Selain meminta restu alam pada saat pembukaan lahan, musim tanam dan pasca panen, tapi juga sebagai simbol doa dan menghargai alam.
Objek simbolik dalam doa itu biasanya beragam. Entah itu berupa hewan, telur, beras, bunga dan lain sebagainya.
Hakekat dari doa tersebut bertolak dari sebuah kesadaraan, bahwa alam (tanah, air, gunung dan lembah) merupakan bagian yang integral dan tak terpisahkan dari kehidupan manusia.
Relasi yang saling melengkapi antar manusia dan alam itulah yang pada satu sisi menjadi fondasi dasar keseluruhan hidup manusia, dan pada sisi yang lain alam dan manusia saling menghidupi antar satu dengan yang lain.
Praktik kebudayaan ini pula yang tertanam dalam selama ratusan tahun lamanya, serta turut membentuk pola tutur dan perilaku masyarakat dalam memanfaatkan dan melayani alam.
Masyarakat yang saya maksudkan di sini adalah petani yang bermukim di perdesaan. Yang notabene mereka masih berpegang teguh pada tradisi agraris dan masih menerapkan pola pertanian alami dalam hal bercocok tanam.
Sebagaimana petani yang sehari-harinya bekerja di ladang dan menggantungkan hidupnya dari hasil alam, maka konstruktif berpikirnya adalah bagaimana memanfaatkan peluang bertaninya sebaik mungkin.
Selebihnya, adalah menumbuhkan kesadaran akan pentingnya mengelola sumber daya yang ada demi keniscayaan pertanian di masa yang akan datang.
Dalam artian, usah pertaniannya tak hanya diperuntukkan dan dinikmati saat ini saja, melainkan menyiapkan peluang bertani bagi masa depan anak cucunya.
Serangkaian pemikiran komperhensif seperti inilah yang saya sebut sebagai bertani itu bagian dari seni berfilsafat. Tersebab tujuannya survive.(*)
Salam Cengkeh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H