Mohon tunggu...
Guıɖo Arısso
Guıɖo Arısso Mohon Tunggu... Insinyur - ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Bertani Sambil Berfilsafat

15 Januari 2021   04:07 Diperbarui: 18 Januari 2021   13:48 857
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi saya, berfilsafat itu tak selamanya prosedural. Maksud saya, tidak harus jungkir balik membaca buku filsafat terlebih dulu, baru berfilsafat. Tidak seperti itu ya.

Memang bagi masyarakat umumnya, termasuk saya, filsafat selalu disandingkan dengan disiplin ilmu yang 'berat': sukar dan/atau rumit untuk dicerna. Bahkan, melihat sampul bukunya saja bawaannya ngantuk, atau malah sampai bertindak represif dengan membuangnya ke tempat sampah.

Dan bukan hanya itu saja. Lantaran oleh sebagian orang, filsafat dipandang sebagai disiplin ilmu yang sudah tua bangka, tidak relevan lagi, sarat chimera, abstrak, imajinatif dan lain sebagainya.

Semua anggapan itu sudah tak bisa terelakan lagi, tentu saja. Namun, sederet pemikiran seperti itu, saya pikir, lahir dari salah kaprahnya orang dalam memahami eksistensi filsafat dalam kehidupan sehari-hari. 

Sebagaimana filsafat diterjemahkan sebagai ilmu yang berusaha untuk mempertanyakan segala sesuatu, mempersoalkan banyak hal berikut berusaha mencari jawaban atas apa yang dipertanyakan. Sesederhana itulah kira-kira.

Demikian juga dengan berfilsafat. Berfilsafat adalah sebuah proses berpikir kritis (mendalam), rasional (masuk akal), komprehensif (menyeluruh) serta sistematis demi mencapai kebenaran sejati. 

Lalu, seperti apa sih bertani sambil berfilsafat itu?

Nah. Pada galibnya, bertani diterjemahkan sebagai kegiatan bercocok tanam dan/atau mengolah tanah untuk menghasilkan sesuatu. 

Lebih daripada itu, bertani adalah sebuah 'proses berpikir dan bertindak'. Baik itu, misalnya, dalam menentukan jenis komoditi yang hendak ditanam, memilih jenis pupuk yang cocok untuk pertumbuhan vegetatif tanaman, bagaimana cara merawat tanaman yang baik dan lain sebagainya. 

Kondisi inilah yang saya sebut sebagai bertani sambil berfilsafat. Ihwal ada serangkaian proses yang melibatkan energi, waktu dan pemikiran di situ.

Selebihnya adalah bagaimana usaha dari bertani itu mampu menghidupkan, tak hanya untuk kepuasan diri sendiri tapi juga bagi orang lain di sekitar kita. Pemikiran seperti itu adalah sejati-jatinya petani, tersebab petani adalah filsafat yang hidup dan menghidupi.

Tentu saja terminologi tersebut tidak hanya terbatas pada urusan perut semata, tapi juga hadir dalam wujud lain seperti tidak kikir membagi pengetahuan dan pengalaman seputar tanam-menanam dengan orang lain.

Dari babaran di atas, saya sangat yakin, sampai di sini kita semua (tanpa terkecuali) bisa melakukan kedua hal tersebut secara bersamaan. Bukan, begitu?

Lebih lanjut, dengan berfilsafat juga, saya pikir, pengelolaan pertanian kita akan lebih terarah dan selaras dengan alam. Maksud saya, kita senantiasa menganggap alam sebagai bagian intergal kehidupan manusia.

Dalam artian, alam sebagai makrokosmos dan kita manusia sebagai mikrokosmos. Relasi yang saling melengkapi itu senantiasa memberi makna yang konstruktif dan arti simbiosis bagi kita manusia. 

Maka sudah menjadi konsekuensi logis kita harus lebih bijak dan berhati-hati dalam memanfaatkan tanah beserta unsur hara yang terdapat di dalamnya. Tersebab, sangat tidak mungkin tanaman kita akan tumbuh dengan baik bila terlalu keteledoran menggunakan pupuk kimia pada tanah.

Jika demikian, niscaya bukan tanamannya akan tumbuh dengan baik malah kondisi tanahnya yang jadi rusak. Di sinilah pentingnya kecermatan dan memanfaatkan tanah yang baik.

Dengan cara tersebut jugalah, kita dapat menunjukan sikap solider seraya simbol terima kasih kita kepada alam. Tersebab ada sebuah adagium yang berbunyi "jangan pernah memotong tangan orang yang memberimu makan". 

Dalam hal ini karena alam telah menyediakan segala sesuatunya untuk memenuhi kebutuhan kita. Tugas kita selanjutnya ialah bagaimana menjaga relasi yang baik dengan alam tanpa bertindak serakah dan banal.(*)

                              Salam Cengkeh                       

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun