Tentu saja terminologi tersebut tidak hanya terbatas pada urusan perut semata, tapi juga hadir dalam wujud lain seperti tidak kikir membagi pengetahuan dan pengalaman seputar tanam-menanam dengan orang lain.
Dari babaran di atas, saya sangat yakin, sampai di sini kita semua (tanpa terkecuali) bisa melakukan kedua hal tersebut secara bersamaan. Bukan, begitu?
Lebih lanjut, dengan berfilsafat juga, saya pikir, pengelolaan pertanian kita akan lebih terarah dan selaras dengan alam. Maksud saya, kita senantiasa menganggap alam sebagai bagian intergal kehidupan manusia.
Dalam artian, alam sebagai makrokosmos dan kita manusia sebagai mikrokosmos. Relasi yang saling melengkapi itu senantiasa memberi makna yang konstruktif dan arti simbiosis bagi kita manusia.
Maka sudah menjadi konsekuensi logis kita harus lebih bijak dan berhati-hati dalam memanfaatkan tanah beserta unsur hara yang terdapat di dalamnya. Tersebab, sangat tidak mungkin tanaman kita akan tumbuh dengan baik bila terlalu keteledoran menggunakan pupuk kimia pada tanah.
Jika demikian, niscaya bukan tanamannya akan tumbuh dengan baik malah kondisi tanahnya yang jadi rusak. Di sinilah pentingnya kecermatan dan memanfaatkan tanah yang baik.
Dengan cara tersebut jugalah, kita dapat menunjukan sikap solider seraya simbol terima kasih kita kepada alam. Tersebab ada sebuah adagium yang berbunyi "jangan pernah memotong tangan orang yang memberimu makan".
Dalam hal ini karena alam telah menyediakan segala sesuatunya untuk memenuhi kebutuhan kita. Tugas kita selanjutnya ialah bagaimana menjaga relasi yang baik dengan alam tanpa bertindak serakah dan banal.(*)
Salam Cengkeh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H