Terlepas dari motif ekonomi, bertani menurut sang Bapak adalah bagian dari caranya menyalurkan hobi. Menurutnya, dengan menanami sesuatu, merawat dan memetik hasilnya adalah sebuah rangkaian yang dapat meyenangkan pikiran dan memuaskan hati. [2]
Dari sana juga ada energi yang dapat menyemangatinya dalam bekerja.
Selanjutnya, menurut Bapak, dengan beraktivitas lebih di kebun dapat membuat otot dan pergelangan kakinya tidak kaku. Dalam hal ini, kesehatan fisiknya terjaga dengan baik.
Beliau lalu membandingkan dirinya dengan rekan sesama guru seusianya di desa yang dalam hal ini jarang gerak dan beraktivitas fisik. Teman-teman gurunya itu lebih rentan terkena penyakit dan gampang sekali mengalami stres. [3]
Terlepas dari proposisi sang Bapak, kebanyakan petani di kampung yang biasanya setiap hari bergelut di ladang, bila sehari dan/atau dua hari saja tak pergi ke ladang, rasanya ada yang kurang dan hidup tidak tenang.
Ya, layaknya petani tulen agar kembali survive, maka beraktivitas fisik di kebun dijadikan suplemen. Begitulah kira-kira.
Jadi, hingga kini pun, setiap kali Bapak meminta kami untuk menghantarkannya ke kebun, pasti akan kami turuti. Dan begitu sampainya di kebun beliau tak hanya sekadar menengok tanaman dari satu sudut ke sudut yang lain, tapi juga turut mengawinkan stek fanili bila tiba saatnya.
Terhitung pekerjaan tersebut memang cukup enteng dan tidak menguras banhak energi. Yang terpenting bagi kami adalah pikiran Bapak tetap fresh dan hasratnya untuk berkebun terpenuhi. Itu saja.(*)
Salam cengkeh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H