Mohon tunggu...
Guıɖo Arısso
Guıɖo Arısso Mohon Tunggu... Insinyur - ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

"Jangan Larang Saya ke Kebun, daripada Saya Kena Stroke"

3 Januari 2021   20:29 Diperbarui: 5 Januari 2021   14:22 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bapak saya sementara memangkas ranting kayu gamal yang dijalari stek fanili (Dokumentasi pribadi)

Bapak saya bisa dikatakan 100% guru, 100% petani. Ya. Meski kini beliau sudah pensiun dari jabatan fungsional sebagai guru, tapi tidak demikian dengan hal bertani.

Bapak saya sebenarnya sudah tidak muda lagi. Umurnya sekarang menginjak 63 tahun. Dengan usia tersebut, beliau sudah tergolong lansia dan tidak bisa bekerja yang berat-berat lagi.

Tapi, apa mau dikata, pensiun dari tugas mengajar bukan berarti purna dalam hal bertani. Bapak saya, kalau boleh dibilang, adalah sosok pekerja keras. Bisa dikatakan juga, kebun tidak bisa jauh dari hidupnya.

Secara fisik memang beliau masih kuat dan sehat. Pun sejauh ini Bapak tidak punya riwayat terkena penyakit yang biasanya menjadi keluhan para orangtua seumurannya. Ya. Picunya mungkin karena hobinya tidak terlalu banyak.

Meski demikian, usia tidak bisa menipu. Tentu saja bertolak dari hal itu, kami anak-anaknya acapkali melarang beliau untuk tidak perlu lagi ke kebun apalagi sampai bekerja yang berat-berat. Tapi, malah kami kena semprot beliau:

"Jangan larang saya ke kebun, daripada saya kena stroke". Kemudian diikuti ihwal tanya lain seperti:"Apa kalian mau jika nanti saya jatuh sakit?" Katanya

Begitulah. Situasi yang serba dilematis memang. Tetapi, perdebatan kami di rumah selalu menemukan jalan tengah. Yakni, Bapak boleh pergi ke kebun, tapi dengan catatan hanya untuk sekadar menengok-nengok saja. Jangan lagi menebas ilalang dan seterusnya agar beliau tidak merasa capek.

Pada galibnya, berkebun sudah menjadi pekerjaan sampingan beliau sedari awal mengajar dulu. Yang ditandai juga dengan, sepulang mengajar pada siangnya, sorenya beliau pergi ke kebun sampai matahari ditelan telaga. Begitu terus hampir setiap harinya.

Kebiasanya tersebut, menurutnya, merupakan kosekuensi logis menjadi guru di perdesaan. Maksud beliau, karena pertanian bisa dijadikan obsi lain dalam mencari rejeki selain gaji sebagai guru. Mengingat, di desa lahan bertaninya sangat luas dan berpotensial untuk diolah dan menghasilkan sesuatu. [1]

Entah itu, misalnya, ditanami tumbuhan perdu seperti cengkeh, kopi dan fanilli, tanaman hortikultura dan seterusnya. Singkatnya, untuk memenuhi kebutuhan konsumsi keluarga sehari-hari dan selebihnya bisa dijual untuk mendatangkan uang.

Terlepas dari motif ekonomi, bertani menurut sang Bapak adalah bagian dari caranya menyalurkan hobi. Menurutnya, dengan menanami sesuatu, merawat dan memetik hasilnya adalah sebuah rangkaian yang dapat meyenangkan pikiran dan memuaskan hati. [2]

Dari sana juga ada energi yang dapat menyemangatinya dalam bekerja. 

Selanjutnya, menurut Bapak, dengan beraktivitas lebih di kebun dapat membuat otot dan pergelangan kakinya tidak kaku. Dalam hal ini, kesehatan fisiknya terjaga dengan baik.

Beliau lalu membandingkan dirinya dengan rekan sesama guru seusianya di desa yang dalam hal ini jarang gerak dan beraktivitas fisik. Teman-teman gurunya itu lebih rentan terkena penyakit dan gampang sekali mengalami stres. [3]

Terlepas dari proposisi sang Bapak, kebanyakan petani di kampung yang biasanya setiap hari bergelut di ladang, bila sehari dan/atau dua hari saja tak pergi ke ladang, rasanya ada yang kurang dan hidup tidak tenang.

Ya, layaknya petani tulen agar kembali survive, maka beraktivitas fisik di kebun dijadikan suplemen. Begitulah kira-kira.

Jadi, hingga kini pun, setiap kali Bapak meminta kami untuk menghantarkannya ke kebun, pasti akan kami turuti. Dan begitu sampainya di kebun beliau tak hanya sekadar menengok tanaman dari satu sudut ke sudut yang lain, tapi juga turut mengawinkan stek fanili bila tiba saatnya. 

Terhitung pekerjaan tersebut memang cukup enteng dan tidak menguras banhak energi. Yang terpenting bagi kami adalah pikiran Bapak tetap fresh dan hasratnya untuk berkebun terpenuhi. Itu saja.(*)

Salam cengkeh

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun