Di dalam upacara Penti ini juga, ada sebuah ritual yang biasanya dilakukan secara bersamaan, yakni Teing Hang Empo. Kedua ritus ini sama-sama diberlangsungkan di dalam mbaru gendang (rumah adat Manggarai).
Terkhusus ritual teing hang empo dimaksudkan untuk mengundang arwah nenek moyang berikut memberi mereka makan. Simbolisasi doanya masih sama, berupa ayam dan telur. Perbedaan hanya terletak pada torok (kalimat doa) si tua golo.
Setelah doa selesai, lalu ayam tadi disembelih berikut dipanggang di atas tungku api. Setelah matang, lidah, hati, dan sedikit dagingnya akan dipotong lalu dicampurkan dengan nasi dan telur di atas piring. Baru kemudian si tua golo akan mempersilakan arwah nenek moyang mencicipi makanan itu.
Sementara sebagian besar dari sisa daging ayam tadi akan dicampurkan ke dalam daging yang akan di makan secara bersama oleh warga sekampung. Selain daging ayam dan telur, adapula daging babi dan juga sapi.
Singkatnya, upacara Penti dan ritual teing hang empo ini dilakukan berangkat dari sebuah kesadaran, bahwa hidup manusia selalu bergantung pada kebaikan Sang Pencipta, arwah nenek moyang dan alam.
Tersebab, keserakahan manusia bisa saja merusak relasi yang baik antar manusia dengan Tuhan, manusia dengan arwah nenek moyang dan manusia dengan alam. Dengan begitu, untuk menghindari petaka, musibah dan hal lain yang tidak diinginkan, maka rekonsiliasi perlu dilakukan.
Tentu saja di sini usaha untuk memulihkan kembali relasi yang baik dengan Tuhan, arwah nenek moyang dan alam itu tidak hanya lewat ritus kolektif adat semata, tapi juga dalam perilaku sehari-hari.
Berikutnya adalah fungsi ayam dan telur dalam kehidupan sosial masyarakat Manggarai.
Pada galibnya, ayam dan telur tak hanya hadir sebagai simbolik dan lauk-pauk dalam pesta adat, tapi sebagai bentuk penegasan posisi sosial dalam masyarakat Manggarai.
Di dalam budaya kekerabatan orang Manggarai, "anak rona" (pihak pemberi istri) mempunyai posisi satu tingkat di atas "anak wina/woe" (pihak penerima istri).
Pada prinsipnya, pemanggungan struktur sosial seperti ini lahir dari sebuah keyakinan, bahwa "anak rona" adalah pihak pemberi rejeki--melalui istri tadi. Karena bagi masyarakat Manggarai, perempuan adalah simbol kehidupan dan kesuburan.