2. Jarang memasuki studio musik. Jumlah studio musik di NTT itu bisa dihitung dengan jari. Tidak banyak. Kalaupun ada, ya, anak-anak muda di sini juga jarang memasuki studio musik.
3. Demikian pun dalam ranah sekolah (ekstrakurikuler) misalnya. Di mana umumnya sekolah-sekolah di NTT tidak memiliki ketersediaan alat-alat penunjang bakat (tarik suara) untuk peserta didiknya.
Ya, paling di sekolah itu hanya diajarkan notasi angka dan menghapalkan notasi balok. Selebihnya, ketika mendapat tugas untuk membawakan koor di gereja. Itu saja.
***
Lalu, seperti apa cara NTT mencetak penyanyi berbakat itu?
Wah, sekali lagi, ini sebenarnya pertanyaan yang membutuhkan jawaban tertutup. Maksud saya, terlebih dahulu harus dilakukan sebuah riset dan/atau verifikasi faktual agar kita sampai pada kesimpulan yang sebenarnya.
Akan tetapi menurut riset kecil-kecilan saya sejauh ini mengatakan bahwa, 3 alasan berikut ini merupakan cara NTT mencetak penyanyi berbakat, antara lain:
Pertama, karena faktor DNA suara emas. Faktor DNA tersebut, saya pikir, terpatri di dalam darah orang NTT. Meski dalam hal ini tidak semua orang NTT ya.
Kedua, rata-rata orang NTT hobi mendengarkan musik. Mulai dari kakek nekek/om tanta/paman bibi/muda mudi sampai anak kecil. Pasti hobi musik, musik dari genre apa saja.
Sehingga tidak aneh bila, sedari kecil orang NTT tumbuh dengan jiwa musikalitas yang tinggi.