Mohon tunggu...
Guıɖo Arısso
Guıɖo Arısso Mohon Tunggu... Insinyur - ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Vanuatu, Diskursus Buruk Rasisme, dan Pluralitas Kita yang Dipertanyakan

1 Oktober 2020   14:17 Diperbarui: 31 Maret 2021   11:24 593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lalu lintas diskusi seputar negara Vanuatu beberapa hari terakhir ini begitu ramai di ruang publik. Picunya tak lain karena menyoal tuduhan serampangan Perdana Menteri (PM) Vanuatu, Bob Loughman yang mengatakan bahwa pemerintah Indonesia abai terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di Papua.

Tuduhan yang dilontarkan oleh Bob Loughman tersebut memang tidak main-main. Kendatipun, dengan sigap tuduhan itu kemudian dibantah oleh Silvany Austin Pasaribu, diplomat muda yang mewakili Indonesia di PBB. Bahwasannya, tuduhan tersebut sangat mengada-ada, atau dalam bahasa Silvany, "obsesi berlebihan".

Bantahan dan/atau sanggahan Silvany punya maksud yang jelas agar dunia tidak percaya begitu saja pada tuduhan membabi buta PM Vanuatu itu. Langkah yang diambil Silvany ini oleh Sokrates namakan sebagai elegkhos (sanggahan).

Elegkhos dalam dialektika ala Sokrates, bertujuan untuk mengerahkan setiap orang untuk sampai pada pengetahuan sejati/kebenaran. Tentu saja sifatnya melampaui opini, tuduhan, maupun klaim.

Saya pribadi, sebenarnya, tidak ingin mendiskusikan hal itu lagi. Merasa tidak survive saja. Sebab menurut saya, biarkan perkara antar pemerintah Vanuatu dan Indonesia diselesaikan lewat jalur diplomasi.

Namun, yang patut dijadikan keprihatinan bersama adalah imbas persoalan Vanuatu dan Indonesia itu telah melahirkan kebencian antarras.

Hal tersebut tercermin dari komentar-komentar rasial sebagian warganet Indonesia. Tentu saja dalam hal ini pihak yang disasar adalah pemerintah Vanuatu pada khususnya dan umunya penduduk Vanuatu yang notabene ras Malenisia.

Diskursus Buruk Rasisme

Sungguh amat disayangkan karena sebagian besar warganet kita tidak mampu menjaga diri dari ucapan yang menyerang unsur biologis dan/atau badaniah orang lain.

Hal ini sebenarnya 'tidak mungkin' terjadi di tengah diskursus politik. Ihwal, secara politis manusia memiliki kerinduan akan yang lain, kerinduan untuk hidup bersama dalam kebaikan.

Sungguh rasisme masih menjadi momok menakutkan dan akar-akarnya masih belum ditumpas habis di negeri kita. Rasisme masih menancapkan kuku-kukunya di tengah peradaban dewasa ini.

Perilaku banal itu tak hanya berhenti di dunia nyata, tapi juga melebarkan sayapnya di dunia maya (baca: medsos). 

Di ruang medsos justru makin parah lagi karena ranahnya spontan dan blak-blakan. Kita bisa temukan komentar yang mengarah pada rasisme brutal terhadap golongan dan/atau suku tertentu.

Paling tidak, sebagi contoh saja misalnya, masih segar dalam ingatan kita menyoal tindakan rasis terhadap mahasiswa/mahasiswi asal Papua yang kuliah di Jawa pada Agustus 2019 yang lalu. Di mana tindakan rasis ini pada akhirnya berujung chaos dan demo besar-besaran di Papua.

Dan ternyata, kita masih belum bisa belajar dari kasus tersebut, hingga mengulanginya lagi dengan bertindak rasis terhadap masyarakat di negara lain.

Lebih lanjut, bila menyoal kasus Vanuatu dan Indonesia yang sarat kental dengan nuansa politik ini, seyogianya tidak ada alasan yang cukup kuat untuk mendorong kita bertindak rasis terhadap individu dan/atau kelompok lainnya.

Karena pada dasarnya, setiap manusia, apapun latar belakangnya, budaya, ras dan agamanya adalah sama. Ihwal, Secara epistemologis dan etis, manusia adalah mahluk rasional dan tahu apa yang baik dan jahat. Secara metafisis, setiap manusia adalah pribadi yang unik, memiliki kekhasan dan berharga, tentu saja.

Mempertanyakan Pluralitas Bangsa Kita

Jujur saja, saya pribadi sebenarnya masih bingung kenapa bisa tindakan rasisme justru bisa terjadi pada bangsa yang terkenal akan pluralistik dan menjunjung tinggi setiap perbedaan yang ada, seperti halnya kita di Indonesia?

Padahal menurut pandangan dunia luar, misalnya, Indonesia adalah pars pro toto dari masyarakat plural dan toleran. Kita hanya perlu menyebutkan Indonesia (sebagian) untuk keseluruhan yang mereka ketahui tentang bangsa kita yang plural, banyak subsuku, ragam bahasa, dan toleran.

Dengan begitu, tindakan banal rasisme adalah antithesis daripada akar budaya bangsa kita, kebudayaan Nusantara.

Pendek kata, mari tinggalkan semua bentuk tindakan rasisme yang ada. Sebab orang yang rasis adalah orang-orang yang belum selesai menjadi manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun