Ratusan konflik tersebut melibatkan areal tanah seluas 2.101.858 hektare dengan korban total mencapai 186.631 jiwa. Dari total korban itu, 176.637 di antaranya berasal dari masyarakat adat. (CNN Indonesia).
Demikian pula pada 2019. Menurut catatan Konsorium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat selama tahun 2019 terjadi 279 kasus konflik agraria di Indonesia dengan luasan wilayah konflik mencapai 734.239,3 Hektare. Jumlah masyarakat terdampak konflik 109.042 kepala keluarga yang tersebar di 420 desa di 33 provinsi. (Krjogja)
Bila menyoal sajian data konflik agraria selama 2 tahun terakhir, kurun waktu 2018 dan 2019, berjumlah 605 kasus. Sajian data kasus-kasus ini belum termasuk kasus-kasus yang sempat dilaporkan dan diadukan.
Lebih lanjut, konflik agraria ini telah memasuki babak baru. Pada tahun 2020 ini, misalnya, kita masih menjumpai berita yang berkutat seputar konflik agraria. Baik itu yang menjerat petani maupun juga masyarakat adat.
Sebagai contoh saja, nasib nahas yang dialami Hermanus belum lama ini. Hermanus adalah seorang aktivis lingkungan dan agraria asal Desa Penyang, Kalimantan Tengah, yang meninggal dunia pada tanggal 26 April 2020. Ia berjuang untuk merebut kembali tanah desanya yang dirampas oleh sebuah perusahaan sawit.
Untuk menjawab panggilan hati para petani di negeri ini, di periode keduanya ini, Presiden Jokowi sudah mengadakan program yang dinamakan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Program ini ditengarai mampu memberikan kepastian hukum atas hak tanah masyarakat dalam mengurangi konflik agraria dengan membagi-bagikan sertifikat tanah gratis.
Program inisiatif pemerintah ini diharapkan hadir sebagai solusi untuk pertanahan. Sebab logika yang dibangun adalah semakin banyak tanah yang terdaftar, maka konflik agraria juga akan menurun ihwal kepemilikan tanah sudah jelas dan otomatis dapat perlindungan secara hukum.
Besar harapan reforma agraria hadir sebagai solusi untjk menjawab persoalan pokok yang dialami oleh petani berupa penyelesaian konflik agraria, perombakan struktur agraria, peningkatan dan keberlanjutan produktivitas ekonomi rakyat serta keberlanjutan fungsi ekologis.
Sebab ini menyangkut lebih dari 33.000 desa defenitif yang ada di dalam kawasan hutan, dan berpotensi menjadi korban akibat konflik agraria khususnya di wilayah kehutanan. Sehingga masyarakat desa-desa tersebut sangat berpotensi kehilangan hak atas tanah dan pertanian sebagai sumber kehidupan utamanya.
Pada momentum memperingati Hari Tani Nasional (HTN) tahun ini juga, sejumlah elemen masyarakat dengan berbagai kategori: KNPA, Gebrak, petani, masyarakat adat, buruh hingga mahasiswa menggelar aksi serentak di 60 kabupaten di wilayah Indonesia.
Mereka turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi politiknya, mengetengahkan kesadaran politiknya. Ini adalah bagian dari kemerdekaan politik, di mana mereka yang ingin berpolitik dengan etika politik luhur. Itulah kebenaran politik yang sesungguhnya.