Weri Mesik Todo Lor.. (menanam itu berbuah manis).
Begitulah filsofi Bapak saya dalam bertani. Meski dalam hal ini, beliau tidak pernah mengatakan dengan tegas kepada kami anak-anaknya.
Bisa dikatakan Bapak adalah petani separuh hati. Karena pada paruh yang lain, Bapak saya merupakan seorang guru Sekolah Dasar (SD). Meski sudah pensiun sejak dua tahun yang lalu.
Selain sebagai orangtua, ia adalah guru pertanian kami di rumah. Sedari kecil aura kongnitif kami anak-anaknya diajari dengan ilmu pertanian oleh beliau. Selain mahfum memberi sekolah lisan, Bapak juga ulet dalam mengurusi perkebunan.
Baginya, menekuni aktivitas pertanian sudah menjadi kosekuensi logis di desa. Dalam hal ini memanfaatkan peluang-peluang yang ada di depan mata. Misalnya memfungsikan tanah yang lapang untuk bercocok tanam.
Sepulang mengajar dulunya, Bapak acapkali mengajak kami anak-anaknya berwisata ekologis, alias pergi ke kebun. Ya, layaknya seorang petani tulen. Segala perkakas kebun, semuanya beliau punya.
Dalam hal bertani, beliau juga menerapkan prinsip diversifikasi pertanian. Di mana bukan hanya cengkeh saja yang di tanam, tapi juga kopi, coklat dan fanili. Sementara pada bagian luar kebun, terdapat pohon jati putih dan mahoni sebagai tanaman pelindung.
Menurut Bapak, varietas tumbuhan ini ditanaminya tak lain untuk meningkatkan hasil pertanian. Selain menjaga kesuburan pada tanah, tentu saja.
Memang tak dipungkiri lagi jika beliau punya etos kerja tinggi. Semangat bertaninya berdarah-darah, meski secara usia sudah hampir kepala tujuh.