Mohon tunggu...
Guıɖo Arısso
Guıɖo Arısso Mohon Tunggu... Insinyur - ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

ᗰᗩᖇᕼᗩEᑎ

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Kriteria Memilih Jodoh: Punya Betis Besar dan Punggung yang Lebar

26 Juli 2020   09:28 Diperbarui: 27 Juli 2020   12:40 578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Roto/keranjang yang terbuat dari anyaman bambu (Dok REBA LOMEH)

(1)

Bila mendiskursuskan kehidupan sosial masyarakat Manggarai jaman dulu, ada satu hal yang cukup menarik kaitannya dengan penentuan kriteria jodoh pada anak.

Lebih tepatnya, para orang tua dikampung selalu menyarankan anak laki-lakinya supaya kelak menikahi gadis yang memiliki keunggulan fisik tertentu, seperti; memiliki betis yang besar dan punggungnya lebar. Persoalan cantik atau tidak, itu nomor kesekian.

Konon, hal ini dipercayai, perempuan dengan ciri seperti itu punya etos kerja yang tinggi dan kuat (baca: tipe manusia askenden). Iya juga sih, kalau dilihat dari postur badan.

Lha, terus bagaimana nasib gadis yang betisnya kecil dan punggungnya pendek? Apakah tidak ada laki-laki yang datang melamar mereka? Yah, kurang tahu saya. Saya kan nggak hidup pada jaman itu bapak ibu sekalian. Heu heu heu

Tapi yang pasti ada dong yang melamar. Perlu digarisbawahi di sini ialah, bukan ciri fisik yang dijadikan patokan utama dalam penentuan jodoh. Utamanya adalah dia bisa membantu pekerjaan rumah tangga atau tidak.

Singkatnya, begitu kira-kira bahasa dalam hipotesis dan/atau proposisi para orang tua di Manggarai jaman dulu dalam melihat etos kerja perempuan yang baik untuk diperistrikan.

(2)

Lebih lanjut, urgensi penentuan jodoh seperti ini berangkat dari refleksi sosiologis yang kontekstual di tengah masyarakat diaspora Manggarai semasa itu.

Dimana, apapun dilihat (gaze of diasporas) selalu diukur dari tempat ia berpijak. Karena semasa itu hampir semua rumah tangga keluarga di Manggarai berprofesi sebagai petani. Baik itu petani kebun, sawah dan peternak. Tidak ada profesi lain diluar itu.

Sehingga bisa disimpulkan juga, libidal penentuan jodoh pada anak itu tak terlepas dari subjek ekonomi. Selain subjek hasrat, tentu saja.

Orang tua dikampung jaman dulu menyebutkan; "Kawe sot mese bocel agu mese toni inewai e nana. Ai mberes te eko roto situ"..(Cari istri itu yang betisnya besar dan punggungnya lebar. Gadis yang seperti itu cekatan dalam bekerja. Pun kuat dalam menyunggi roto (sejenis keranjang dari anyaman bambu)).

Roto/keranjang yang terbuat dari anyaman bambu (Dok REBA LOMEH)
Roto/keranjang yang terbuat dari anyaman bambu (Dok REBA LOMEH)

Roto bagi masyarakat Manggarai kental dengan nilai feminim. Roto merupakan keranjang yang multi guna dan biasa dipergunakan oleh ibu-ibu untuk menyimpan padi yang di angkut dari sawah. Roto bisa juga untuk menyimpan sayuran, buah-buahan hingga menyimpan bekal selama berada di kebun.

Seperti yang saya katakana diawal, penentuan jodoh tak terlepas dari subjek ekonomi dikarenakan sewaktu itu usaha pertanian dan/atau perkebunan memperkerjakan seluruh anggota keluarga. Baik itu laki-laki (suami) maupun perempuan (istri) yang sama-sama turut andil ke kebun.

(3)

Seiring lintas generasi dan kemajuan jaman, proposisi dalam penentuan jodoh seperti itu tidak berlaku lagi di tengah masyarakat Manggarai, Flores.

Karena pada prinsipnya sekarang ini, ada begitu banyak varian hidup yang ditawarkan. Profesi masyarakat juga sudah beragam. Tidak hanya bertani saja.

Kalaupun gagasan penentuan jodoh seperti itu ada sampai sekarang ini, ya, pasti sudah di pancung habis-habisan oleh nona-nona yang militansinya tidak diragukan lagi.

Belum lagi akan didemo dan digayang oleh kaum-kaum pengusung feminimisme yang selama ini bersusah payah untuk diet. Bisa berabe urusan jadinya bos. Heu heu heu

Tapi memang demikian adanya, apa yang benar menurut orang dulu , belum tentu benar menurut kita yang sekarang. Begitu juga sebaliknya.

Kurang lebih begitulah kebiasaan orang-orang jaman dulu menyoal penentuan kriteria jodoh pada anaknya. Bagaimana dengan dengan orang-orang di tempatmu, kawan?

Salam dan terima kasih..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun