Orang tua dikampung jaman dulu menyebutkan; "Kawe sot mese bocel agu mese toni inewai e nana. Ai mberes te eko roto situ"..(Cari istri itu yang betisnya besar dan punggungnya lebar. Gadis yang seperti itu cekatan dalam bekerja. Pun kuat dalam menyunggi roto (sejenis keranjang dari anyaman bambu)).
Roto bagi masyarakat Manggarai kental dengan nilai feminim. Roto merupakan keranjang yang multi guna dan biasa dipergunakan oleh ibu-ibu untuk menyimpan padi yang di angkut dari sawah. Roto bisa juga untuk menyimpan sayuran, buah-buahan hingga menyimpan bekal selama berada di kebun.
Seperti yang saya katakana diawal, penentuan jodoh tak terlepas dari subjek ekonomi dikarenakan sewaktu itu usaha pertanian dan/atau perkebunan memperkerjakan seluruh anggota keluarga. Baik itu laki-laki (suami) maupun perempuan (istri) yang sama-sama turut andil ke kebun.
(3)
Seiring lintas generasi dan kemajuan jaman, proposisi dalam penentuan jodoh seperti itu tidak berlaku lagi di tengah masyarakat Manggarai, Flores.
Karena pada prinsipnya sekarang ini, ada begitu banyak varian hidup yang ditawarkan. Profesi masyarakat juga sudah beragam. Tidak hanya bertani saja.
Kalaupun gagasan penentuan jodoh seperti itu ada sampai sekarang ini, ya, pasti sudah di pancung habis-habisan oleh nona-nona yang militansinya tidak diragukan lagi.
Belum lagi akan didemo dan digayang oleh kaum-kaum pengusung feminimisme yang selama ini bersusah payah untuk diet. Bisa berabe urusan jadinya bos. Heu heu heu
Tapi memang demikian adanya, apa yang benar menurut orang dulu , belum tentu benar menurut kita yang sekarang. Begitu juga sebaliknya.
Kurang lebih begitulah kebiasaan orang-orang jaman dulu menyoal penentuan kriteria jodoh pada anaknya. Bagaimana dengan dengan orang-orang di tempatmu, kawan?