Halo pembaca yang saleh, dari pada nalar kita diobrak-abrik bila mendiskursuskan virus corona, lebih baik kita bernostalgia tentang masa silam, ketika masih kecil.
Sebelumnya, ide menulis artikel ini juga merupakan hasil kontemplasi saya seharian ini. Lebih tepatnya, seketika saya berada di kebun.
Baiklah, saya boleh bernostalgia selama memori dalam kepala saya masih cukup baik menyimpan dan mengingat semua itu.
Sewaktu kecil dulu, pada saat bulan terang tak berawan di malam hari, tersorot sejumlah keindahan yang menyeluruh. Bintang-bintang berhamburan di langit, berkelap kelip, berkedip-kedip di langit yang tenang menawan.
Hati kami amat bersukaria. Orang-orang di kampung saya sangat mencintai suasana sukaria. Ihwal, di sana kami bergembira bersama sehingga terekspresi rasa bahagia yang amat dalam.
Selebihnya, tak ada yang melarang kami dalam mengekspresikan diri. Sungguh terasa sempurna.
Ketika itu di malam hari, berduyun-duyun orang-orang tua, muda-mudi, anak-anak, memadati natas labar (halaman luas yang terletak di tengah kampung).
Kami duduk mengelilingi halaman luas itu sambil berselimutkan kain songke (sarung tenunan) khas Manggarai.
Sambil menunggu orang tua dan muda-mudi kampung menari sanda dan berbalas pantun, kami yang masih bocah ingusan sementara asyik menghitung berapa banyak bintang yang bergantungan di langit.
Bukan saja soal siapa bisa menghitung berapa jumlah bintang di langit, tetapi siapa yang lebih lama bertahan menghitung dengan jumlah yang lebih banyak dari yang lain. Tentunya dengan kepala terangkat dan wajah tetap terarah ke langit.
Sepintas, itu pekerjaan yang aneh, bukan? Iya'lah, kan namanya juga pekerjaan bocah.
Menari Sanda dan Berbalas Pantun
Setiap kali satu pantun selesai diucapkan, para orang tua hingga kami yang masih bocah ramai-ramai bertepuk tangan, bersorak-sorai gembira.
Anehnya lagi, kami yang masih anak-anak mendadak ikut berbahak-bahak tawa meski sama sekali tidak mengerti apa maksud dari pantun itu (?).
Pada dasarnya, pantun berbalas antar orang tua dan muda-mudi ini sama-sama romantis, seni dan memukau jiwa.
Tanpa bertele-tele lagi, berikut saya membahasaindonesiakan pantun-pantun yang kental dengan logat Mangggarai itu kepada Anda sekalian;
*Pantun ala Orang tua:
Waktu daftar hari terahkir
Waktu terasa banyak terbuang
Kamu nggak perlu khawatir
Cintaku hanya untukmu seorang
Bawa paku dipukul batu
Dicampur jamu di atas tungku
Cintaku cukuplah satu
Untuk kamu sepanjang hidupku
Air mawar di dalam cangkir
Disimpan kendi di bawah parang
Sedari awal hinggalah akhir
Sayangku tercurah untukmu seorang
Sapu rumah hingga bersih
Atapnya satu dibawa pergi
Tatap mataku wahai kekasih
Cintaku satu tak terbagi-bagi
Paling banyak burung gelatik
Di atas terbang melayang
Memang banyak wanita cantik
Cuma engkau yang aku sayang
Beribu bebek di kandang singa
Hanya satu berwarna belang
Beribu cewek di Indonesia
Hanya engkau yang aku sayang
(Di akhir pantun biasanya disambut dengan tepuk tangan meriah dan tarian sanda)
*Pantun ala Muda-Mudi:
Kapal kecil jangan di belok
Kalau di belok patah tiangnya
Anak kecil jangan dipeluk
Kalau di peluk patah tulangnya
Asal kapas menjadi benang
Dari benang dibuat kain
Barang yang lepas jangan dikenang
Sudah menjadi hak orang lain
Anak Siti anak yang manja
Suka berjalan di atas titi
Orang yang malas hendak bekerja
Pasti menyesal satu hari nanti
Ayam boleh, ikan pun boleh
Yang penting ada nasinya
Hitam boleh, putih pun boleh
Yang penting baik hatinya
Angin teluk menyisir pantai
Hanyut rumpai di bawah titi
Biarlah buruk kain dipakai
Asal pandai mengambil hati
(Sama juga, diakhir pantun biasanya disambut dengan tepuk tangan meriah dan tarian sanda)*
Sebagai tambahan, menari sanda adalah sebuah tarian khas daerah Manggarai, Flores. Tarian ini sering dipentaskan dalam acara-acara adat.
Persisnya tarian ini pentaskan oleh orang tua dan anak-anak muda sambil berpegangan tangan dan membentuk suatu lingkaran. Berikut penampakannya dalam foto;
Kurang lebih demikian bila menghela narasi seputar tarian sanda dan berbalas pantun yang menghiasi masa kecil saya dulu.
Namun, kini kebiasaan ini mulai pudar seiring lintas generasi ke generasi.
Salam dan terima kasih..
(Tulisan saya ini sebelumnya tayang/muat di Werimesik.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H