Tulisan ini dibuat sebagai bahan reflektif kepada Reba (muda) dan Molas (mudi) Manggarai masa kini dalam menilai dan menjalani, serta menjaga warisan budaya yang diturunkan oleh nenek moyang dan/ atau para tetua dalam komunitas masyarakat adat Manggarai.
Perilaku masyarakat Manggarai pada galibnya di atur dalam hukum adak (adat), hal ini demi menjamin kesejahteraan dan perdamaian antar keluarga dan komunitas.
Adapun pasal-pasal dalam hukum adat itu tersampaikan melalui bimbingan, teguran halus, nilai-nilai hidup, dan nasihat arif para tetua dalam masyarakat yang diejawantahkan pula dalam tombo turuk atau tombo nunduk (cerita-cerita rakyat), go'et (seloka) atau lagu-lagu yang bernuansa mendidik.
Lalu, bagaimana usaha muda-mudi Manggarai dewasa ini menjaga dan melestarikan budaya tersebut? Masihkan itu relevan dengan kehidupan di masa sekarang, ataukah ada sudut pandang yang berbeda untuk memahami warisan budaya pada masa kini?
Jawaban atas pertanyaan ini akan menjadi penting jika sejenak direnungkan, akan seperti apa wajah kebudayaan kita dimasa yang akan datang.
Karena biar bagaimanapun, hemat saya, kebudayaan masyarakat Manggarai bukan saja fosil masa lampau, tetapi juga menjadi artefak yang kontekstual, dinamis serta membumi.
Harus diakui pula bahwa, hubungan kaum muda-mudi Manggarai dengan seni budaya dan/atau kearifan lokal tidaklah selalu selaras. Keterlibatan mereka dalam dunia kebudayaan tersendat oleh banyak masalah dan tantangan.
Terkhusus untuk muda-mudi Manggarai Raya (Barat, Tengah dan Timur), tantangan yang sering dihadapi sekarang ini terkait dengan daya tahan terhadap desakan pola hidup baru. Sebut saja misalnya arus globalisasi.
Dalam lingkaran globalisasi dan kemajuan zaman sekarang ini, turut serta memboyong teknologi dan varian pilihan kesenian yang lebih afdol dikalangan milenilas.
Tak dipungkiri kaum muda adalah pelaku seni-budaya. Tapi sedini komitmen mereka bagi kelestarian budaya daerah mulai kehilangan taringnya. Kita bisa lihat saja bagaimana muda-mudi sekarang lebih adaptif dengan budaya luar.
Dari sekian budaya luar yang masuk itu, secara tidak langsung membuat generasi muda Manggarai melupakan nilai-nilai luhur kebudayaannya sendiri hingga lenyapnya rasa peduli.
Sebagai contoh saja, banyak anak-anak muda (seumuran penulis) yang saat ini enggan untuk belajar mengenai kultur Manggarai, mengenakan aksesoris adat seperti towe songke (kain tenun khas Manggarai), memakai sapu/ jongkong (topi adat), jarang ikut pentas tarian adat seperti caci untuk laki-laki dan sanda untuk perempuan, dan masih banyak 'ketidaknampakan' yang lain.
Saya pribadi melihatnya ada sebuah gejala pemutusan pengetahuan lintas generasi. Tersebab, yang masih mempertahanakan kultur budaya kini tinggal generasi tua saja. Kalau generasi muda, lain cerita.
Tidak bisa dibayangkan bagaimana jika nilai-nilai kearifan lokal yang sangat kita banggakan dan muliakan ini 10 dan 20 tahun lagi akan hilang dan hanya namanya saja.
Solusi
Ketika sudah membaca adanya fenomena memudarnya kultur seni-budaya di pundak muda-mudi sekarang ini, tanggungjawab kita kemudian yaitu mencari solusi agar supaya menumbuhkan rasa cinta memiliki budaya bagi kaum muda (milenials).
Bahwasannya kebudayaan Manggarai itu seni, unik, otentik dan memukau jiwa
Maka dari itu sebagai langkah antisipasi dan solusi, demi mempertahankan eksistensi dan citra rasa budaya Manggarai pada kalangan muda-mudi sekarang ini, perlu dilakukan 2 (dua) langkah berikut;
Pertama, perlunya dukungan dan perhatian keluarga, masyarakat hingga lingkungan terhadap minat dan kreasi budaya kaum milenials.
Karena fakta didepan mata, masyarakat Manggarai umumnya terlalu permisif dengan budaya dari luar. Sehingga tanpa disadari nilai kearifan lokal sedemikian dikebelakangkan.
Dalam situasi ini kaum muda dilanda sikap apatisme dan keraguan dan semakin tak percaya diri dengan budaya lokal.
Maka disinilah pentingnya peran orang tua itu. Bagaimana menularkan nilai-nilai berbasis lokal dalam keluarga.
Selebihnya, saya tidak mengajak kita untuk menutup diri terhadap pengaruh dari luar. Baiknya ialah bagaimana berkolaborasi secara random dan seimbang.
Kedua, andil peran pemerintah daerah. Tanpa campur tangan pemerintah saya pikir usaha ini hanya sekadar omong kosong belaka.
Harapannya pemerintah gencar melakukan seminar kebudayaan kepada kaum muda. Pun lebih proaktif mendukung keterlibatan kaum muda dalam ajang seni budaya didaerah.
Disinilah pentingnya sinergitas bersama antar keluarga, masyarakat dan pemerintah dalam menyokong usaha menghidupkan nilai kebudayaan didalam nadi kaum muda.
Semoga bermanfaat. Terima kasih dan salam rahayu**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H