Dalam tataran kehidupan agraris orang Manggarai, terdapat 3 (tiga) jenis ritual adat yang sifatnya berkesinambungan dan waktu pelaksanaannya berbeda-beda.
Ke tiga ritual itu yakni;
- Benso Rasi, ritual yang berkaitan dengan masa awal bercocok tanam
- Randang, ritual yang berkaitan dengan masa panen; dan
- Penti, upacara syukuran panen.
Pada dua artikel sebelumnya, saya telah memaparkan bagaimana jalannya prosesi ritual Benso Rasi dan Randang itu.
Pendek kata, kedua ritus ini umumnya memiliki kesamaan dalam tata upacaranya. Di mana keduanya sama-sama diselenggarakan di kebun, dan mengikutsertakan beberapa hewan kurban untuk di sembelih.
Perbedaan ke-2 ritual ini hanya pada kalimat tudak/ torok (rapalan doa) si tua golo (tua adat) yang berlaku sebagai penutur.
Sementara puncak dari kedua ritual ini adalah diselenggarakannya upacara Penti (syukuran panen).
Meski secara esensinya sama dengan ritual Benso Rasi dan Randang yaitu mengucap syukur kepada Mori Jari Dedek (Tuhan Sang Pencipta), arwah nenek moyang dan alam, atas jeri payah yang telah diberikan dan diperoleh selama kurun waktu beberapa tahun.
Upacara Penti
Pada dasarnya upacara Penti dilakukan seketika semua masa panen petani selesai. Persisnya di Manggarai, masa panen usai di bulan September atau Oktober.
Upacara Penti biasanya dilangsungkan sekali dalam lima tahun. Tetapi ada juga rumpun keluarga di desa lain yang merayakannya setiap tahun.
Hal ini dikarenakan lain kedaluan lain pula konsepnya. Atau bisa juga karena tradisi dan faktor kesanggupan (baca: ekonomi) untuk mengadakan acara.
Dalam kepercayaan masyarakat Manggarai, upacara Penti mempunyai makna yang holistik dan harus dirayakan.
Ada kecendrungan bila upacara Penti ini tidak dilakukan, maka kelak mendapat murka dari Tuhan, arwah nenek moyang dan alam. Hal ini ditandai dengan adanya gagal panen, hama wereng, bencana alam dan sebagainya.
****
Jauh hari sebelum upacara Penti dilakukan, lazimnya semua ase kae ca beo (saudara sekampung) menyiapkan segala sesuatu untuk menyokong keberlangsungan acara, hingga mengundang keluarga yang berada di kampung lain untuk hadir.
Upacara Penti dilakukan pada sore hari atau menjelang malam hari. Ditandai dengan adanya nempung dan neki weki (berkumpul bersama).
Sementara pagi keesokannya, dilanjutkan dengan acara podo tenggeng. Yakni dengan maksud supaya bencana kelaparan tidak menghantui dan dijauhkan (tolak bala).
Hewan persembahan yang diikutsertakan berupa ela (babi) dan manuk miteng (ayam berbulu hitam). Babi dan ayam yang berbulu hitam bermakna menolak kesuraman, sial dan bahaya kelaparan.
Adapun tudak (kalimat doa) yang dirapalkan oleh tua golo (penutur) berbunyi;
“kudut wurs cangged rucuk ringgang landing toe ita hang ciwal, toe hang mane. Porong one leso salet, one waes laut. (biarlah semua bencana kelaparan/ busung lapar hanyut bersama darah babi dan ayam)”.
Kemudian ayam dan babi di sembelih, dan jasadnya digantung pada kayu yang sengaja ditancapkan di tempat acara itu.
Setelah itu, sebelum meninggalkan tempat acara para tetua adat akan membersihkan parang dan/ atau pisau yang dipergunakan untuk menyembelih hewan kurban tadi disungai.
Pada saat dijalan pulang, tidak diperkenankan untuk menoleh ke belakang. Hal ini di nilai tabu, agar supaya segala wujud kesialan tidak membututi kita dari belakang.
Begitu tiba di kampung, warga langsung mempersiapkan diri untuk memulai acara inti (baca: syukuran).
Tahapan dalam Upacara Penti
Dalam upacara Penti di kenal beberapa tahapan-tahapan sebagai berikut;
- Barong wae teku, upacara langsung di mata air yang dipakai sebagai air minum oleh warga kampung
- Barong compang, upacara di atas batu (tempat persembahan) yang ada di tengah-tengah kampung
- Libur kilo, upacara persembahan umum dalam gendang (rumah adat Mangggarai) lantaran arwah nenek moyang sudah diundang masuk kedalam rumah
- Wae owak, upacara persembahan dari masing-masing keluarga
- Tudak penti, upacara puncak syukur
Sekiranya demikian bila menghela narasi seputar Penti (syukuran panen) bagi orang Manggarai.
Terima kasih dan salam..
Referensi: Bagul Dagur, A. 1997. Kebudayaan Manggarai: Sebuah Khasanah Kebudayaan Nasional. Surabaya: Ubhaya Press.