Dalam kepercayaan masyarakat Manggarai, upacara Penti mempunyai makna yang holistik dan harus dirayakan.
Ada kecendrungan bila upacara Penti ini tidak dilakukan, maka kelak mendapat murka dari Tuhan, arwah nenek moyang dan alam. Hal ini ditandai dengan adanya gagal panen, hama wereng, bencana alam dan sebagainya.
****
Jauh hari sebelum upacara Penti dilakukan, lazimnya semua ase kae ca beo (saudara sekampung) menyiapkan segala sesuatu untuk menyokong keberlangsungan acara, hingga mengundang keluarga yang berada di kampung lain untuk hadir.
Upacara Penti dilakukan pada sore hari atau menjelang malam hari. Ditandai dengan adanya nempung dan neki weki (berkumpul bersama).
Sementara pagi keesokannya, dilanjutkan dengan acara podo tenggeng. Yakni dengan maksud supaya bencana kelaparan tidak menghantui dan dijauhkan (tolak bala).
Hewan persembahan yang diikutsertakan berupa ela (babi) dan manuk miteng (ayam berbulu hitam). Babi dan ayam yang berbulu hitam bermakna menolak kesuraman, sial dan bahaya kelaparan.
Adapun tudak (kalimat doa) yang dirapalkan oleh tua golo (penutur) berbunyi;
“kudut wurs cangged rucuk ringgang landing toe ita hang ciwal, toe hang mane. Porong one leso salet, one waes laut. (biarlah semua bencana kelaparan/ busung lapar hanyut bersama darah babi dan ayam)”.
Kemudian ayam dan babi di sembelih, dan jasadnya digantung pada kayu yang sengaja ditancapkan di tempat acara itu.
Setelah itu, sebelum meninggalkan tempat acara para tetua adat akan membersihkan parang dan/ atau pisau yang dipergunakan untuk menyembelih hewan kurban tadi disungai.