Sore ini publik Manggarai Raya di hebohkan dengan unggahan Puan Maharani melalui akun instagram pribadinya @puanmaharaniri. Ihwal putri Megawati tersebut memperlihatkan kekompakan mereka sekeluarga dalam mengenakan kain songke pada momen perayaan Idul Fitri 1 Syahwal 1441 H.
"Lebaran kali ini dalam suasana COVID-19, kami hanya berkumpul dengan keluarga inti" tulis Puan pada deskripsi foto tersebut
Bak efek kejut, postingan Mbak Puan itu telah di screenshot dan di share secara sukarela oleh kalangan warganet Manggarai. Media sosial sontak penuh sesak dengan unggahan serupa.
Saya pribadi sedemikian tergerak untuk ikut mencebur diri ke dalam kubangan solidaritas dengan cara melike setiap postingan yang lewat di beranda akun medsos. Sampai ibu jari saya jetlek memang. He he
Saya ikut bangga aja sih, kain songke yang menjadi identitas dan jati diri kami orang Manggarai di kenakan oleh kaliber tokoh nasional. Lha, siapa yang nggak bangga coba?
Tentunya disini saya melihatnya semata-mata dari kacamata sosial budaya, bukan atas dasar sentimen politik. Kendati pun saya bukan partisan dan loyalis. Ogahlah, gak ngurus gituan!
Terlepas dari itu, kain songke yang dikenakan oleh Megawati sekeluarga pada momen sakral Idul Fitri kali ini igin menerangkan bahwa pengertian kain songke tidaklah sempit, melainkan hadir sebagai gagasan dialogis yang indah, kaya akan makna dan memukau.
Ini lho wajah Indonesia dan inilah kita!
Makna Songke yang Integral
Bila kita menoleh sedikit ke belakang, pada masa lampau, kain tenun songke merupakan salah satu penanda karakteristik dan identitas orang Manggarai. Keberadaanya sangat integral dengan setiap sendi-sendi kehidupan.
Kain songke biasanya di kenakaan saat upacara-upacara resmi seperti pada momen hari raya keagamaan, perkawinan dan/ atau pernikahan, penjemputan tamu, pertemuan, kunjungan antar keluarga dan momen krusial lainnya.
Melalui kesempatan-kesempatan itu, kain songke sedini menjelma sebagai sarana resmi komunikasi iman yang holistik dalam budaya dan jati diri masyarakat Manggarai.
Fakta lain juga menyuguhkan bahwa, selain songke berarti sebagai penguatan identitas jati diri, juga membawa kemaslahatan dari perspektif ekonomi.
Ya, ada semacam penghargaan dan/ atau atensi yang setimpal terhadap kerja keras para penenun yang selama ini mengalami keterbatasan ruang gerak dalam pemasaran.
Lha, kalau bukan kita sesama masyarakat Manggarai yang beli dan memakainya, lalu mau mengharapkan siapa lagi? Kira-kira begitu.
Mengenakan kain songke dalam perayaan suci keagamaan merupakan wajah liyan proklamasi keyakinan bahwa orang Manggarai mencinttai apa yang dimilikinya, sebuah perjalanan menemukan dan menegaskan kedirian secara baru.
Diskursus kain songke pada balutan keluarga Megawati kali ini, hemat saya, juga demikian serupa. Tentunya seturut harapan Hari Raya Idul Fitri yang syarat suci ini, Ibu Megawati dan sanak keluarga akan menjadi pribadi yang baru sebagai umat Allah yang baik.
Saya kira begitu ya. Tulisan ini tidak lebih dari sekadar ekspresi kegembiraan saya atas proklamir kain songke sebagai jati diri orang Manggarai.
Tak pelak, tentunya Ibu Mega dan Mbak Puan sangat cantik dan aggun ketika mengenakan kain songke. Berkah dalem ya Bu sekeluarga. Salam dari tanah Manggarai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H