Bila menyibak wajah liyan ekspresi orang pada foto ilustrasi diatas, sedini ingin menegaskan harga cengkeh yang sedemikian jatuh dan terjun bebas.
Ya memang gambar tersebut mungkin sedikit terkesan seperti meme melucu, tetapi bila dikonkritasikan kurang lebih ekspresi tersebut cukup menggambarkan situasi batin petani cengkeh saat ini.
Awalnya saya mengira yang bersangkutan benar-benar jatuh dari pohon cengkeh, tapi setelah mengecek kolom komentar ternyata sang pemilik foto menerangkan bahwa tidak lebih dari sekadar "selebrasi kekecewaan".
"Saya kesal. Ini harga cingkeh (dialeg Sulawesi) tak kunjung naik-naik" tulisnya disertai emoji sedih
Sembari diikuti ihwal harapan agar harga cengkeh kembali membaik sehingga ekonomi terus berdenyut dikalangan petani.
Lebi lanjut, foto diatas juga saya ambil dari grup facebook 'Petani Cengkeh'. Grup biasa kami bertukar pikiran dan berbagi cerita seputar informasi tanaman cengkeh.
Tak dapat dipungkiri memang sesekini (per Februari 2020), harga cengkeh di hampir semua reksa wilayah Indonesia mengalami penurunan. Dari yang semulanya 93.000 per kilo, kini turun ke 65.000 per kilonya (untuk cengkeh kering).
Sementara untuk cengkeh basah turun ke 15.000 dari 40.000 per kilonya. Tapi untuk harga pangkalnya memang tidak pernah berubah yakni 3.000 per kilo gram.
Tidak Ada Standarisasi Harga
Wajah suram dan kacaunya harga cengkeh beberapa tahun terakhir ini memang tak terlepas dari tidak adanya standarisasi harga komuditas cengkeh dipasaran.
Disini pemerintah memiliki andil yang besar dalam mematok standarisasi harga dipasaran. Ya pemerintah punya fungsi etatisme kalitalis. Mempunyai wewenang dalam menerapkan kebijakan yang setidaknya fair dan menguntungkan kedua belah pihak (petani dan pengusaha).
Tapi yang terjadi selama ini ialah kebijakan pemerintah cendrung friendly ke pengusaha. Sehingga secara tidak langsung menjadikan kapitalis sebagai pemain tunggal di pasar.
Apa lagi bila berbicara tentang Perda yang melindungi usaha petani. Wadaw jauuuh buanget!. Kalau pun ada Perda dan perangkat hukum yang mengatur, saya pikir mubazir dan hanya polesan gincu semata.
Fakta yang ada didepan mata memang demikian. Satu-satunya harga beli yang berlaku dipasaran adalah harga yang ditentukan oleh pembisnis. Jadi seenak udel mereka saja.
Ada beberapa teman petani cengkeh di Sulawesi yang sempat curhat-curhatan dengan saya. Dikatakannya, pada saat musim panen Januari 2020 kemarin, tidak semua pohon yang berbuah mereka petik. Hanya sebagiannya saja.
Hal ini dilakukan lantaran harga cengkeh dipasaran yang tidak sebanding dengan pengeluaraan pada saat musim panen. Artinya mereka rugi.
Lain halnya dengan pohon cengkeh kepunyaan kami di Manggarai, Flores. Jumlahnya memang hanya seupil dibandingkan dengan di Sulawesi.
Tapi kasihan juga sih bila tidak dipetik. Wong nanamnnya dulu setengah mati dan berkeringat darah. Tergantung pribadinya sih.
Sebagai penutup, saya sendiri sekiranya sudah hampir bosan dengan napas 'senin-kamis' karena berkeluh kesah dengan hal-hal yang sama melulu. Percuma juga sih sebenarnya bila menulis panjang lebar sampai jari saya jetlek.
Hemm...Tapi entahlah, apa mau dikata..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H