Hari ini, Rabu (05/02) sepantauan saya Kompas.com telah merilis sebanyak tiga berita utama terkait umbi tanaman porang.
Di antara ke tiga berita tersebut ada salah satu judulnya yang bikin menghentak jiwa netizen (pembaca). Yakni, "Mengenal Tanaman Porang, Tanaman yang Bikin Banyak Petani jadi Miliarder" disini.
Bila disimak, kolom komentar pada tautan itu dikeroyok habis-habisan oleh netizen yang budiman. Dan kebanyakan dari mereka sebenarnya terkaget-kaget oleh atraksi umbi porang yang ternyata punya harga fantastis.
"Gile.. Ternyata porang ini ada yang beli yak. Gak tau saya. Ditempat saya tumbuh banyak" celutukan salah seorang netizen.
Nah, dari situlah kemudian hati dan jari saya tergerak untuk ikut memperluas eskalasi kabar baik tentang manfaat tanaman porang ini.
Tepatnya sebulan yang lalu, saya juga telah merilis dua artikel mengenai tanaman porang ini disini, Kompasiana. Secara kebetulan, karena beberapa bulan terakhir ini diskursus tanaman porang ditempat saya begitu ramai diperbincangkan.
Baca juga: Bisnis Porang yang Harganya Mulai Bersaing dengan Cengkeh
Baik petani senior hingga yang muda sedemikian termobilisasi bercocok tanam porang. Orang mulai berduyun-duyun dan sesibuk semut keladang sembari memikul bibit porang.
Mengenal Tanaman Porang
Tanaman porang sendiri bermarga Amorphophallus Muelleri. Tanaman porang sendiri biasanya hidup dan menjamur dihutan belantara. Pun kadang tumbuh dikebun, dipinggiran sungai hingga dipekarangan rumah.
Tanaman porang dewasa biasanya berdiameter 100 cm sampai 250 cm. Sementara untuk umbinya sendiri berada didalam tanah. Ya hampir mirip-mirip umbi-umbian lainnya yang biasa kita tanam dikebun.
Ciri lainnya ialah, tanaman porang memiliki batang yang tegak, lunak dan tekstur batang yang halus dan berwarna hijau belang-belang dengan totol putih.
Porang nama lokalnya adalah Wanga. Tanaman ini ditempat saya awalnya disepelekan karena dianggap tanaman hutan yang tidak bermanfaat. Ada kalanya dibabat begitu saja lantaran diklaim sebagai tanaman pengganggu bagi tanaman lain.
Tapi vonis itu sesekini berbalik 180 seiring banyaknya pembisnis tanaman porang yang blusukan kedesa-desa untuk mencari dan membeli.
Kebanyakan dari para pembeli ini adalah para saudagar yang datang dari Jawa Timur sana. Konon katanya, umbi porang itu nantinya akan diekspor ke Negeri Sakura, Jepang. Umbi porang dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan bahan makanan, lem, alat kosmetik dan masih banyak lagi.
Di tempat saya, Manggarai, harga porang kini harganya mengalami kenaikan. Jika pada tulisan-tulisan sebelumnya harganya berkisar antar 55 ribu, kini mengalami penanjakan 3 digit alias 86 ribu.
Dengan rincian, untuk umbi porang kering per kilonya dihargai 86 ribu. Sementara umbi mentah 33 ribuan.
Saya sendiri sudah menanam sekitar 100 lebih bibit porang. Tepatnya awal Januari 2020 yang lalu. Ditambah lagi bulan Januari kemarin merupakan bulan basah, waktu yang tepat untuk bercocok tanam porang.
Jika melihat volume tanaman porang yang sudah saya tanam, jumlahnya memang masih sangat sedikit. Rencananya ditambah 900 bibit lagi. Biar nanggung sekalian maksudnya, pun selagi lahan masih memungkinkan. Hehe
Baca juga: Candela Porang di Manggarai
Tapi memang sejauh ini saya masih kewalahan untuk mendapatkan tambahan bibit, oleh karena sekarang ini banyak peminat dan jadi rebutan. Direksa wilayah Manggarai orang-orang sudah ramai membudidayakan porang.
Harga Jual yang Tinggi
Menurut para pembeli yang datang dari Madiun-Jawa Timur, permintaan umbi porang setiap tahunnya mengalami peningkatan yang signifikan.
Sehingga untuk menjawab terpenuhnya kebutuhan pangsa ekspor itu, mereka bekerja sama dengan pengusaha didaerah untuk mengkapitalisasi tanaman porang ini.
Di tempat saya umbi porang ini masih dijual dalam bentuk barang mentah. Artinya belum bisa diolah menjadi barang setengah jadi hingga dijadikan tepung porang. Lantaran belum ada mesin pengolahannya.
Kendati sesampai di Pulau Jawa, umbi-umbi porang ini akan diiris-iris jadi chip hingga dijadikan tepung. Harganya juga tidak main-main. Yakni untuk Chip porang dihargai Rp 27.000 per kilogramnya sementara tepungnya 800.000 per kilogramnya. Fantastis, bukan?
Jadi, tunggu apalagi bung, ayuk kita ramai-ramai berinvestasi dengan jasad-jasad organik tanaman porang ini. Selamat memulai. Jaya petani Indonesia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H